23 dari 537 Perusahaan Sawit di Indonesia dan Aceh Denda Pajak, Beroperasi Tanpa HGU

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid.

“Jadi sebelumnya yang boleh menanam kelapa sawit itu harus punya IUP atau punya HGU, sekarang dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah punya IUP dan juga punya HGU,” jelasnya.

JAKARTA | mediaaceh.co.id – Sedikitnya 23 Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Besar yang beroperasi di provinsi Aceh tidak memiliki Hak Guna Usaha dari 537 Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia.

Indikasinya 23 perusahaan Kelapa Sawit di Aceh ilegal, sebab tidak memiliki legal tanding HGU nya. Akibatnya negara dirugikan dari sektor pajak dan Bea Perolehan atas Hak dan Tanah Bangunan (BPHTB).

Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit.

Tak terkecuali Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Besar yang ada di Aceh Tamiang, perlu kajian dan analisa terkait legal dan atau ilegal perusahaan yang beroperasi diwilayah Aceh Tamiang tersebut.

Menilik usaha investasi dibidang perkebunan kelapa sawit. Eksploitasinya benar di wilayah Aceh Tamiang, tetapi kantor pusat mereka rata rata ada di Kota Medan dan Jakarta.

Tentu saja, dari keberadaan kantor perusahaan, Aceh Tamiang sudah dirugikan dari sektor Pajak dan BPHTB nya, sebab perusahaan semuanya membayar di Kota Medan dan Jakarta.

Terkait ini, harus ada kebijakan dan regulasi khusus yang dilakukan Pemerintahan definitif Armia Pahmi – Ismail kelak, agar keberadaan perusahaan sawit di Aceh Tamiang terdeteksi dengan baik dan harus berkantor di Aceh Tamiang, bukan di Medan atau Jakarta.

Sebaiknya kaji dan ukur ulang keberadaan HGU perusahaan kelapa sawit di Aceh Tamiang, sebab ada indikasi jumlah yang ada di dalam Peta Kadastral [Yang mengidentifikasi Luas, Ukuran, Batas dan Legalitas Hukum serta Hak atas Tanah] berbeda dengan luasan di lapangan.

Dikutip dari laman Pajak.com. Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), akan terapkan sanksi denda pajak kepada 537 perusahaan kelapa sawit yang diketahui beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU).

BACA JUGA...  Hakim Wasmat Lakukan Pengawasan dan Pengamatan di Lapas Lhoksukon 

Langkah tersebut diambil untuk menegakkan kepatuhan terhadap aturan yang mengharuskan setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki izin lengkap berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP) sekaligus HGU.

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menjelaskan bahwa, kebijakan ini termasuk dalam program 100 hari kerjanya di Kabinet Merah Putih.

Dalam Rapat Kerja (raker) perdana dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Nusron memaparkan rencana penertiban untuk ratusan perusahaan sawit tersebut.

“Sanksi utama yang akan diterapkan adalah denda pajak, dengan besaran yang saat ini sedang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Saat ini, Kementerian ATR/BPN sedang menertibkan dan mengevaluasi, menahan dulu sementara proses pengajuan pendaftaran maupun penerbitan HGU-nya,” ujar Nusron.

Ia menegaskan bahwa, tindakan ini diambil bukan hanya untuk memastikan kepatuhan perusahaan sawit terhadap peraturan, tetapi juga untuk menjaga integritas sektor perkebunan di Indonesia.

Menurutnya, tidak ada jaminan otomatis bagi perusahaan yang membayar denda untuk mendapatkan HGU.

“Itu yang kami bahas, bukan berarti setelah mereka membayar denda otomatis mendapatkan HGU. Keputusan final nanti tergantung itikad baik dan sikap pemerintah,” terang Nusron.

Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN yang dihimpun sejak 2016 hingga Oktober 2024, terdapat 537 perusahaan yang hanya mengantongi IUP tanpa HGU dengan total luas lahan mencapai 2,5 juta hektare.

Nusron berencana menyelesaikan proses penertiban ini dalam waktu 100 hari kerja. “Ini yang mau kita tertibkan dalam waktu 100 hari ini harus tuntas, kalau ditotal jumlahnya ada 2,5 juta hektare,” jelasnya.

Menurut Nusron, penertiban ini mengacu pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 41. Keputusan MK menegaskan bahwa setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib memiliki baik IUP maupun HGU.

Penegakan aturan ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola perkebunan di Indonesia, mendorong perusahaan untuk patuh terhadap regulasi, dan memastikan seluruh proses perkebunan berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.

BACA JUGA...  Untuk Memudahkan Proses Hukum Bagi Tiga Tersangka Korupsi PT PSM JPU Kejari Sabang Memindahkan Dari Sabang Ke Banda Aceh

“Jadi sebelumnya yang boleh menanam kelapa sawit itu harus punya IUP atau punya HGU, sekarang dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah punya IUP dan juga punya HGU,” jelasnya.

Perusahaan Perkebunan Di Aceh Tamiang Langgar Hak Masyarakat

Sementara ketua DPRK Aceh Tamiang Fadlon, SH mengatakan bahwa; Perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang diminta untuk memenuhi hak plasma masyarakat sekitar kebun mereka sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Ketua DPRK Aceh Tamiang. Fadlon, SH.

Dia menyebut, ada empat aturan atau regulasi yang mengatur tentang hak plasma kepada masyarakat baik dalam bentuk kebun plasma maupun program kemitraan terhadap masyarakat yakni Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Perkebunan.

Tak hanya itu, Fadlon juga menjelaskan terkait luas perkebunan kelapa sawit di Aceh Tamiang sesuai Hak Guna Usaha (HGU) mencapai 46.084, 59 hektare dari 34 perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar tapi fakta lapangan masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak plasma untuk masyarakat sekitar.

“Kami minta perusahaan sawit agar memberikan 20 persen hak plasma kepada masyarakat di sekitar kebun mereka, karena itu adalah kewajiban perusahaan berdasarkan regulasi soal perkebunan,” Tegas politisi Partai Aceh ini.

Lalu pihak manajemen perusahaan, masih banyak permasalahan yang terjadi antara perusahaan sawit dan masyarakat, terkait dengan pemberian hak plasma.

Dia mencontohkan, terdapat perusahaan sawit yang memberikan lokasi plasma yang jauh dari kebun utama sehingga masyarakat tidak bisa mengelola lahan secara baik.

“Padahal, masyarakat yang memiliki tanah tersebut lebih dahulu, tapi tiba-tiba muncul perusahaan, saat memberikan hak plasma, perusahaan malah memberinya ke lokasi yang jauh, sehingga masyarakat tidak mungkin mengurusnya,” ujarnya.

BACA JUGA...  Liavy Greens Sayur Buah Hidroponik Mongal City Ada di Aceh Tengah 

Asumsinya, ada juga perusahaan yang tidak memberikan hak plasma sama sekali atau memberikan hak plasma yang tidak sesuai dengan luas lahan yang dikuasai perusahaan, praktik itu sangat merugikan masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik.

“Kami minta Bidang Perkebunan di Distanbunnak Aceh Tamiang dan Bidang Perkebunan Provinsi Aceh menata ulang perusahaan sawit yang ada di Aceh Tamiang, termasuk mengawasi dan mengontrol pemberian hak plasma kepada masyarakat, jangan sampai ada perusahaan yang seenaknya mengambil tanah masyarakat tanpa memberikan hak plasma yang layak,” tegasnya.

Kecuali itu, Pemberian hak plasma kepada masyarakat sekitar kebun sawit adalah salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dan program tersebut juga bagian untuk peningkatan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat

Harapannya perusahaan sawit bisa menjadi mitra yang baik bagi masyarakat, bukan menjadi musuh atau bisa menimbulkan hal – hal yang tidak di inginkan. “Semoga masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari keberadaan perusahaan sawit di daerah mereka,” sebut Fadlon.

Beroperasi Tanpa Miliki HGU

Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh, M. Shafik Ananta Inuman, ST, MUM, saat dikonfirmasi wartawan mengatakan bahwa; Ada 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Aceh tanpa memiliki HGU.

Shafik menyebut ringkas, tanpa merinci nama-nama perusahaan perkebunan kelapa sawit dimaksud. [Syawaluddin].