Oleh: Amdy Hamdani
Orang-orang berusaha menuju ruang pertemuan tepat waktu. Dari mulut mereka terdengar ucapan, malam ini ada acara “Niro Ijin” sebutan lokal untuk kegiatan sakral bagi setiap yang ingin memberitahu—dalam konteks Pilkada tentunya yang sedang berlangsung sekarang, sang kontestan calon bermohon maaf dan meminta restu dari masyarakat sekitar.
Usai makan bersama, tokoh Pulo Sange (Red-samaran) berdiri, menyatakan salam kepada hadirin, memanjatkan pujian serta rasa syukur kepada Sang Penguasa alam semesta dan salam sejahtera kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Sang Tokoh berujar “Nge bulet pakat, nge tirus genap” sebagai ucapan pengganti kesiapan kandidat menghadapi kontestasi Pilkada 2024.
Tokoh Pulo Sange pun berpesan agar kandidat calon menjalankan amanah dengan baik, sedikit bersabar dan ikhlas.
“Kami yakin bila bapak benar-benar memimpikan sesuatu, maka seluruh alam semesta berkonspirasi untuk membantu mewujudkannya,” tutupnya.
Tiba giliran kandidat berdiri, dia bercerita tentang perjalanan, mimpinya, sikap dan pendirian dan caranya memandang daerah dan pemerintahan.
Menanggapi beberapa isu yang sempat ditanyakan oleh hadirin, Shabela Abubakar berujar “bagaimana dengan siram, apa disini pakai siram juga? ya saya jawab, disini juga kita pakai cara yang sama, kita siram dengan air” membuat hadirin tersentak.
SHABELA ABUBAKAR
Pilkada kali ini yang kedua baginya, jadi dia dikenal sebagai incumbent. Dia memang tidak berkeinginan menguasai “mimbar” agama, manalagi dianggap terlalu moderat, tetapi program penulisan Al-Qur’an dalam Bahasa Gayo malah selesai di masa kepemimpinannya.
Hebatnya, terobosan ini bahkan mencapai tujuan yang lainnya, yaitu melindungi Bahasa Gayo dari ancaman kepunahan karena terpaan globalisasi ataupun karena pemaksaan integrasi yang berlebihan.
Pandangannya terhadap kekuasaan dan cara merebutnya tidak berubah, dia membelah pengertian penguasa dan ulama.
Hal ini yang membuat dia tidak memilih jalan menguasai mimbar agama dan corong masjid, ataupun memakai jas dan sarung apalagi harus memelihara janggut hanya karena bulunya yang lebat untuk merebut dan memaksakan simpati pemilih.
Suatu ketika, beberapa pihak dengan tajam mempertanyakan kasus hukum yang bisa menjeratnya. Dia hanya menjawab, tidaklah mungkin tangannya tidak kotor, dia bukan orang suci.
Tetapi siapapun yang mempertanyakannya, dia mempersilahkan untuk mem-”profilling” atau menggambar raut mukanya sejelas mungkin, apakah dia seber masalah itu selama berkuasa.
Mengenai apakah dia sosok yang rakus lagi tamak, orang-orang melihat dia hanya dianggap Bupati termiskin dari 4 (empat) mantan bupati yang sedang berebut pengaruh di dataran tinggi.
PERUBAHAN POLITIK
Bagi pengganjal, atau pihak yang ingin membuktikan phenomena Calon Tunggal, virus yang menggerogoti demokrasi kita pada Pilkada sekarang ini, pendalaman yang sedang dilakukan terhadapnya oleh partai, dianggap sebagai suatu kesempatan dan momen ini berusaha dimanfaatkan sedemikian rupanya.
Seakan tak cukup, sudah pun mengantongi prosentase dukungan di atas 25% atau lebih, nafsu untuk menghabisinya pada perebutan tiket penuh intrik, terasa kasar dan berlebihan.
Ada yang menawar diri dengan cara “bertekuk lutut” sembari meneriakkan Mualim ke batas langit, lainnya masuk menyebar fitnah pertengkaran dan jerat hukum.
Di detik akhir, beberapa hari menjelang masa pendaftaran, partai Gerindra baru mengeluarkan keputusan mengusung Shabela dan Eka.
Keputusan ini tidak hanya menjawab kegelisahan mereka penyebar fitnah, atau si penjegal, juga menjadi jawaban atas kesabarannya dan do’a dari para pendukungnya.
Dampaknya, mau diakui langsung atau tidak langsung, ledakan pertamanya terjadi di “All In”, membuat rombongan ini kucar kacir dan pupus harapan untuk sementara.
Sudah menjadi sunnatullah, manakala kapal karam maka semua isinya mencari skoci penyelamatan.
Apakah karena hal itu lantas Shabela mengubah sikapnya dan menawarkan kapal penyelamat, justru dia menunjukkan sekali lagi kedalaman pengetahuan dan instingnya, tawaran-tawaran yang berdatangan dia sambut tanpa gebu,
Sebaliknya menyarankan agar rombongan ini bangkit lagi, tak menyerah karena harus menjaga marwah. Dia malah mengatakan lebih menghormati lawan, ketimbang memukulinya sewaktu terpuruk.
Dampak lainnya adalah soal tak lagi mudah menguasai memori masyarakat dengan mencekokinya narasi politik bodoh, semisal memindahkan konflik timur tengah ke dataran tinggi, naga-naga raksasa bersenjata dan dikabarkan sering membagi obat “daun merah” merasa bagaikan tersapu angin panas.
Jadilah seperti menghadapi semacam dilemma, antara harus melepas pakaian kebesaran atau mencari ramuan yang bisa mengatasi serangan hawa panas.
Sebagaimana ungkapan lama tidaklah meludah ke langit maka percikannya lepas dari muka. Pasangan Shabela Abubakar dan Eka Saputra, tidak mengerahkan bergunung-gunung kekuatan, hanya 5 kursi parlemen sesuai pemenuhan syarat mendaptar.
KEBIJAKAN LAMA DAN BARU
Shabela mungkin kasar bagi kompetitornya, tetapi dia tahu bagaimana harus menyelamatkan hak hidup masyarakatnya, seperti tidak memberhentikan para honorer karena ancaman refocusing di masa pandemi.
Dia menerabas, memudahkan perizinan bagi perkembangan sektor pariwisata,
dampaknya sejumlah usaha di bidang ini mulai dari pendirian hotel berbintang sampai usaha kulineran yang digerakkan kalangan muda tumbuh subur mengusir kekhawatiran dan kegelisahan hidup yang menerpa.
Hasilnya, pasca pandemi, Aceh Tengah dinyatakan urutan kedua pembangunan ekonomi daerah dari 23 kabupaten di Provinsi Aceh.
Di malah merasa aneh dengan tawaran menjual mobil dinas sebagai solusi depisit, problem kebijakan yang dialami Aceh Tengah sebagai dampak yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan refocusing.
Memang setiap kebijakan memiliki resikonya, kesadaran akan kelemahan kebijakan di masa pandemi itu dia amati dan perhatikan dengan serius.
Itu sebabnya, bila masyarakat Aceh Tengah memberinya mandat, misinya pada periode ke-dua diarahkan pada pembenahan atau perbaikan agar kemajuan yang ada tidak sampai membahayakan lingkungan hidup disisi lain harus tetap menghargai peradaban masyarakat yang berlandaskan syariat.
Pada lapisan yang lain, dia menawarkan peningkatan pembangunan di semua sektor harus lebih berkualitas.
Dalam soal ini, langkah kebijakan yang dia ambil mengikuti garis lurus pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sembari melindungi kearifan lokal Gayo yang tertancap kuat di jiwanya.
Pasangan Shabela Abubakar dan Eka Saputra dengan demikian memanggil kita untuk terus bergerak membangun sebagaimana pesan panggilan “Bangunlah Jiwanya dan Bangunlah Badannya Agar Kita Merasa Merdeka”.