Karena ‘Nyeleneh’ Baiknya Karo Hukum PA Dievakuasi
BANDA ACEH (MA) – Telaah yang dilakukan Kepala Biro (Karo) Hukum Pemerintah Aceh (PA) bersifat tindakan onrechtmatige daad [melawan hukum perdata], hingga keluar putusan vonis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memenangkan Musyawarah Besar (Mubes), Majelis Adat Aceh (MAA) tahun 2018 lalu yang telah sesuai dengan Qanun Nomor 3 tahun 2004.
Hal tersebut telah memicu pandangan subjektif terhadap perspektif telaah yang dibuat Karo Hukum Pemerintah Aceh, ada indikasi sikap dan prilaku yang nyeleneh. Sebab tindakan itu, perbuatan melawan hukum. Dan harus segera dievakuasi.
Padahal Mubes yang dilakukan oleh MAA pada tahun 2018 lalu itu sudah mengikuti rull of law-nya; Qanun Nomor 3 tahun 2004 dan dinyatakan telah memiliki inkrah oleh vonis PTUN Aceh.
Memunculkan berbagai pertanyaan yang menggelitik, Pemerhati, Peneliti dan Civitas Akademisi di Aceh khususnya. Sebab telaah Karo Hukum Pemerintah Aceh bukan mendukung sebaliknya membuat telaah diluar jalur semeatinya.
Karena hasil telaah itu, hingga Gubernur Pemerintah Aceh [Dijabat Nova Iriansyah waktu itu] tidak menandatangani putusan dan hasil Mubes MAA tahun 2018. Hingga berujung ke PTUN untuk jalur penyelesaiannya.
Gugatan Karo Hukum Pemerintah Aceh, gugur demi hukum dan dimenangkan oleh Mubes MAA tahun 2018, yang berkekuatan hukum tetap, setelah vonis menang MAA, PTUN Aceh.
“Saya pikir, pejabat yang bermental seperti ini layaknya ‘dievakuasi’ saja ketempat lain. Masih banyak pejabat yang subjektif menilai, bukan ‘ambigu’ pada telaah yang salah,” jelas Usman Lamreung, Peneliti di Emirates Development Research (EDR) Aceh. Pada mediaaceh.co.id. Senin, 19 September 2022 di Banda Aceh.
Menurutnya; pembentukan Kepengurusan Majelis Adat Aceh (MAA) haruslah dilaksanakan melalui MUBES MAA dan ini telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku pada Tahun 2018 yang berlandaskan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2004.
Dan menghasilkan penetapan Pengurus Lengkap yang Ketuai Badruzzaman Ismail. Namun hasil Mubes dimaksud tidak disahkan oleh Gubernur Aceh [Nova Iriansyah saat itu], sehinga berujung menjadi konflik hukum yang penyelesaiannya dibawa ke PTUN.
Dalam perjalanan proses hukum di Pengadilan, Pemerintah Aceh Tahun 2019 melahirkan Qanun baru tentang MAA yaitu Qanun Aceh No. 8 Tahun 2019 dengan mencabut Qanun Aceh No. 3 Tahun 2004 dan berlandaskan Qanun dimaksud Tahun 2020 dilaksanakan MUBES MAA, sehingga telah terpilih Pengurus Lengkap sesuai prosedur dan syarat-syarat yang dtentukan dan telah ditetapkan dalam sebuah Keputusan Gubernur Aceh, bahkan sudah selesai mengikuti gladi untuk Pengukuhannya.
“Dalam perjalanan proses pembentukan Pengurus MAA berbarengan pula turunnya Putusan MA RI yang telah berkekuatan hukum tetap yang dimenangkan sesuai hasil MUBES 2018,” kata Usman.
Menyikapi permsalahan saat ini. Gubernur Aceh tidak melaksanakannya Putusan MA RI dimaksud, bahkan yang lebih parah lagi sebelum Hasil Mubes MAA Tahun 2020, telah ditetapkan, sementara Keputusan Gubernur membatalkan tanpa alasan hukum yang jelas, sehingga dapat dikatakan Pengurus MAA sekarang bertentangan dengan hukum.
“Dalam kontek itu dimana keberadaan Karo Hukum yang bertugas memberikan Telaahan Hukum kepada Pj.Gubernur, sehingga lahirnya sebuah Keputusan tidak bertentangan dengan hukum, baik Putusan MA maupun Qanun Aceh tentang MAA,” Tegas Usman lagi.
Masih Usman, dikatakan bahwa; tidak ada satu Pasalpun dalam Qanun MAA yang membolehkan pembentukan Pengurus MAA dari hasil rekonsiliasi antara Pengurus MAA yang telah dibentuk melalui Mubes MAA dengan Anggota Partai Politik tertentu.
Tapi hal ini sedang berlangsung dalam Pengurus MAA sekarang dan dimasukkan oknum-oknum tertentu dalam Pengurus MAA sekrang yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Qanun misalnya telah dites kemampuan membaca Alquran serta tidak merangkap jabatan dan sebagainya.
“Apakah Kepala Biro Hukum, telah menelaah dan memberikan masukan hukum yang benar kepada Pimpinan?, Apakah Kepala Biro Hukum tidak paham dengan Isi Qanun MAA bahwa yang punya Mandat dalam pembentukan Pengurus dalam Mubes ada 4 unsur, sepertinya Kepala Biro memahami hukum hanya sepotong-sepotong, sehingga yang dipahami yang punya mandat dalam Mubes hanya Pengurus MAA Kab/Kota,” Katanya.
Saran Usman; Karo Hukum pelajari yang benar sebuah produk hukum dan tidak menafsirkan sesuka hati. Karena tempat dirinya bertugas adalah wilayah eksekutif, sehingga tidak salah dalam eksekusi.
Kepada Pj. Gubernur Aceh dengan melihat permasalahan yang sangat miris di MAA sekarang dikaitkan dengan peran Kepala Biro Hukum, sudah selayaknya kinerjanya dievaluasi, sebelum timbulnya permasalahan-permasalahan yang lebih krusial di kemudian hari di Jajaran Pemerintah Aceh.
“Kepala Biro Hukum jangan membuat telaahan Hukum yang sarat dengan retorika dan multi tafsir, yang menarik kesana kemari terhadap maksud produk hukum yang telah baku, seperti Putusan MA RI dan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2019 tentang MAA,” tegasnya lagi.
Karena menurutnya; didalamnya telah tegas petunjuk dan perintah serta syarat-syarat wajib dipenuhi untuk melahirkan sebuah kebijakan untuk dieksekusi. Dengan demikian tidaklah tepat membuat sebuah Telaahan Hukum kepada Pimpinan yang bersifat asal bapak senang (ABS), tetapi haruslah sesuai Perintah Hukum yang telah baku dan mengikat. [Syawaluddin].