Empat Tahun jadi Lahan Terlantar, Sukaramai Satu Paceklik Gabah

Lahan areal persawahan padi yang terlantar 4 tahun di kampung Sukaramai Satu

Loading

Empat Tahun jadi Lahan Terlantar, Sukaramai Satu Paceklik Gabah

KUALASIMPANG | MA – Empat tahun lahan areal persawahan milik warga Kampung Sukaramai Satu, Kecamatan Seruway, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang. Aceh. Seluas 40 hektar lebih jadi lahan terlantar karena tak bisa ditanami padi.

Saat musim hujan tiba [mulai bulan Agustus – Januari], lahan persawahan seluar 40 lebih itu menjadi danau, digenangi air hujan dengan ketinggian air 1 – 1,5 meter, praktis masyarakat hanya bisa termangu memandangi air yang menggenangi sawah mereka.

Parit pembatas HGU Perkebunan Kelapa Sawit yang longsor serta menutupi tali air persawahan masyarakat di Kampung Sukaramai Satu

Genangan air setinggi 1 – 1,5 meter yang merendam areal sawah warga berasal dari parit pembatas pemilik Hak Guna Usaha (HGU) beberapa Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang longsor dan menimbun Tali Air persawahan warga.

Saat musim hujan terjadi, air yang menggenangi tali air ke areal sawah warga akibat tak mengalir dan tertimbun longsoran tanah parit pembatas HGU menyebabkan warga tak bisa bercocok tanam pagi.

Parahnya lagi, saat musim kemarau tiba, lahan tersebut juga tak bisa digunakan, sebab tanahnya retak-retak karena suhu panas terlalu tinggi. Air yang menggenangi areal sawah mereka mengering dihisap pohon kelapa sawit.

Sebaliknya, jika aliran parit sawah mereka normal, pasca panen padi, mereka bisa memanfaatkan untuk bercocok tanam palawija, seperti Kacang Kuning, Jagung, Sayur Mayur, Semangka dan lainnya, sampai musim mengering tiba dan cadangan air tak ada lagi.

Namun empat tahun terakhir areal itu menjadi lahan terlantar tak dapat diolah menjadi lahan produktif, karena itu; tersumbat oleh longsoran tanah parit induk [Pembatas] Perusahaan Perkebunan HGU Kelapa Sawit.

Mohon Perhatian

Suratno [mantan Datok Penghulu Dua Periode] mewakili warga pemilik lahan, minta kepada Pemkab Aceh Tamiang untuk meninjau dan mengkaji serta membangun kembali irigasi [Tali Air] yang rusak karena tertimbun longsoran parit induk HGU.

Suratno, Mantan Datok Penghulu dua periode, kampung Sukaramai Satu.

“Saya sangat berharap, terutama kepada Pemkab Aceh Tamiang, khususnya pada Penjabat (Pj) Bupati Aceh Tamiang, Pak Meurah Budiman mau meninjau lahan kami yang terlantar, sebab lahan itu merupakan sumber pendapatan paling utama untuk menopang ekonomi keluarga di Kampung kami,” jelas Suratno.

Kata Suratno; praktis selama 4 tahun ini, areal persawahan warga terlantar tidak dapat diolah menjadi lahan produktif, untuk menutupi ekonomi keluarga.

“Banyak warga kita selama ini kerja keluar, sebab lahan mereka tidak bisa digarap. Itu terpaksa kita lakukan pak, untuk memenuhi kebutuhan hidup,” paparnya.

Terkait itu, warga minta. Agar Pemkab Aceh Tamiang, dapat menganggarkan untuk pembangunan saluran parit areal sawah tersebut sepanjang kurang lebih 1000 meter. “Jika diminta untuk membuat laporan teknis lapangan kami siap melakukannya, sebab ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Suratno.

Segera Tinjau dan Ambil Kebijakan

Wakil ketua Komisi 4 Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang. Tri Astuti menegaskan, sudah sepatutnya Pemkab Aceh Tamiang mengambil langkah bijak untuk membangun kembali tali air sawah warga yang tidak berfungsi.

Wakil Ketua Komisi IV DPRK Aceh Tamiang; Tri Astuti.

Terutama itu, Tri sangat berharap Pj Bupati Aceh Tamiang Meurah Budiman turun dan meninjau kelapangan, sebab secara kasat mata luasannya tidak 40 hektar, tetapi bisa mencapai 60 hektar.

Kata Tri, areal sawah itu. Satu-satunya sumber mata pencaharian warga Kampung Sukaramai Satu, untuk menopang hidup ekonomi keluarga. Dia berharap selayaknya memberikan perhatian secara khusus.

Di lokasi runtuhnya tebing parit gajah pembatas HGU Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

“Membangun itu-kan bukan hanya proyek besar saja, sebaliknya kita lupa, membangun jaringan ekonomi masyarakat adalah membangkitkan nilai tambah masyarakat untuk menopang mega proyek yang di jalankan. Jika ingin membangun dimulai dari Bottom Up bukan Top Down,” tegas Tri.

Ditambahkan, jika satu kali panen per hektar bisa menghasilkan 3,5 ton gabah kering di kali 60 hektar mencapai 210 ton per 60 hektar sekali panen. Jika satu tahun 2 kali panen maka didapat 420 ton gabah kering dalam satu tahun.

Dan harga pasaran gabah kering di pusaran Rp8000 ribu rupiah per kilo. Jika per tahunnya bisa dua kali panen maka hasil yang diperoleh mencapai 420 ton. “Dalam setahun uang yang beredar dari hasil panen padi seluas 60 hektar mencapai Rp.8000 [harga per kilo gabah kering]x1.000 [1 ton dalam kilogram]x420 [Dalam Ton dua kali panen per tahun] = Rp.3,360 miliar rupiah per tahunnya,” jelas Tri.

Sungguh luar biasa jika digarap secara profesional dan proporsional. Apalagi jika lahan tersebut di jadikan sawah intensif, tentu akan meningkatkan hasil dan bisa tiga kali panen per tahunnya.

Merasa Heran

Sayed Zainal, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) dan Ketua Forum Coorporate Social Responsibility (FCSR) Aceh Tamiang merasa heran, mengingat ada potensi ekonomi yang menggiurkan tetapi tidak diusulkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Direktur Eksekutif LembAHtari dan Ketua FCSR Aceh Tamiang. Sayed Zainal, M. SH

Apalagi penghasilan dari sektor pertanian padi sawah mencapai Rp3,360 miliar rupiah per tahun, per dua kali panen hilang percuma selama kurun waktu 4 tahun terakhir tahun berjalan.

Sayed menekan, bahwa; dibutuhkan Respon, perhatian dan tanggap sehingga bisa ditanggulangi kesulitan masyarakat, ditambah dengan perencanaan yang matang oleh Pemkab Aceh Tamiang, Wakil Rakyat dan perangkat Desa.

Dibawah jembatan tempat longsornya parit gajah pembatas HGU Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Sayed menjelaskan. Pada Sabtu, 13 Mai 2023 pihaknya turun bersama – sama masyarakat, Mantan Datok, Wakil Ketua Komisi 4 DRPK Aceh Tamiang untuk menyaksikan secara langsung ke Sawah warga di Desa Sukaramai 1.

“Kami menemukan lahan seluas 40 hektar lebih lahan Persawahan untuk bercocok tanam padi dan palawija sudah tidak bisa digunakan lagi, penyebabnya, karena aliran
air, dari alur yang ada total tertutup, bahkan saat musim hujan lahan persawahan tersebut tergenang banjir berbulan-bulan,” Jelas Sayed.

Akibat ter dampak banjir berbulan-bulan akhirnya warga meninggalkan lokasi di lahan tanaman padi yang tergenang air setinggi 1-1,5 meter. Mencari kehidupan baru upaya memenuhi ekonomi keluarga.

Dijelaskan; posisi lahan warga
Ada di seputaran jalan AMD antara Seruway menuju Sukaramai 1. Harapan Sayed; Perlu perhatian serius Dinas terkait, Wakil Rakyat, bersama-sama merencanakan dan menanggulangi mengusulkan Proyek normalisasi.

Dia juga bertanya, apakah ada para
Wakil Rakyat dari wilayah Dapil Seruway dan Datok serta Perangkat Desanya, Musrembang tahun 2023 mengusulkan jadi sebuah perencanaan matang.

“Terkhusus, apakah dalam Pokir anggota Dewan ada
masuk usulan untuk normalisasi?, mudah-mudahan kehadiran salah seorang Anggota DPRK Atam, Tri Astuti bisa menjadi jembatan penyelesaian yang turut meninjau ke lokasi lahan,” ujar Sayed.

Dikatakan, jika diukur lahan tersebut tidak 40 hektar, bisa mencapai 60 hektar, sebab lingkupnya masuk di beberapa lingkungan Kampung. Hal tersebut, menurutnya harus menjadi perhatian sangat serius dari Pemkab Aceh Tamiang dan elemen terkait. [Syawaluddin].

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Malu Achh..  silakan izin yang punya webs...