Oleh: Tgk. Muhsin, MA
SETIAP kali Pilkada, kita seharusnya merayakan pesta demokrasi dengan riang gembira, di mana rakyat akan memilih pemimpin terbaik. Pemimpin
yang bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan bagi daerahnya.
Sayang seribu kali sayang, praktiknya, Pilkada sering kali menjadi panggung bagi permainan sentimen, bukan arena adu gagasan berbasis argumen yang kuat.
Alih-alih fokus pada program, visi, dan solusi yang konkret, Pilkada sering berubah menjadi kontestasi emosi, di mana popularitas lebih diutamakan daripada kualitas kepemimpinan.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana politik kita, terutama dalam konteks Pilkada, telah mengalami pergeseran yang sangat signifikan.
Ketika argumen yang rasional, berbasis data, dan memiliki arah yang jelas tergantikan oleh permainan sentimen emosional, kita bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan esensi demokrasi?
Politik Identitas dan Sentimen Emosional
Salah satu bentuk paling nyata dari politik sentimen yang muncul dalam Pilkada adalah politik identitas.
Para kandidat, alih-alih mempresentasikan rencana pembangunan yang konkret, lebih sering memanfaatkan identitas seperti agama, etnis, atau asal daerah untuk memicu perasaan solidaritas di antara kelompok tertentu.
Narasi seperti itu, tentu lebih mudah diterima karena menyentuh emosi dasar manusia, yaitu rasa kebersamaan dalam kelompok.
Namun, apakah politik identitas ini mampu membawa solusi nyata bagi masalah yang dihadapi daerah?
Pertanyaan lain, apakah sekedar merasa bangga memiliki pemimpin yang “seperti kita” bisa menyelesaikan tantangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau lapangan kerja? Jawabannya, tentu tidak.
Ketika sentimen identitas menjadi alat utama dalam Pilkada, bisa berisiko terhadap kehilangan substansi dalam memilih pemimpin yang benar-benar kompeten dan mampu bekerja untuk semua orang, bukan hanya untuk kelompok tertentu.
Janji Politik yang Populis dan Tanpa Dasar
Selain politik identitas, sentimen juga sering digunakan dalam bentuk janji politik yang bombastis, namun tanpa dasar yang jelas.
Dalam masa kampanye, kita kerap disuguhi oleh serangkaian janji yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Pertanyaan muncul, apakah janji tersebut benar-benar didasarkan pada analisis yang matang dan terencana? Tidak jarang, janji tersebut hanyalah alat untuk mengaduk emosi dan harapan masyarakat.
Politisi tahu betul bahwa mengandalkan argumen berbasis bukti dan rencana jangka panjang sering kali tidak menarik perhatian sebanyak janji populis yang memikat. Namun, setelah masa kampanye berakhir dan janji-janji tersebut tidak terealisasi, masyarakat kembali kecewa.
Ini adalah siklus yang terus berulang, di mana sentimen diciptakan untuk meraih suara, tetapi tak pernah diterjemahkan menjadi kebijakan nyata yang berdampak positif.
Kontroversi dan Manipulasi Emosi di Media Sosial
Pada era digital sekarang ini, media sosial telah menjadi medan laga bagi kandidat.
Alih-alih menjadi ruang untuk mendiskusikan program dan solusi, media sosial sering dimanfaatkan untuk memancing emosi pemilih dengan cara yang cepat dan mudah.
Konten yang menyulut kontroversi, menyebarkan rasa takut, marah, atau kebanggaan berlebihan, lebih sering viral daripada analisis mendalam tentang kebijakan publik.
Ini bukan fenomena yang kebetulan, tetapi algoritma media sosial didesain untuk menonjolkan konten yang memicu respons emosional.
Jadi, wajar jika para tim sukses memilih untuk menggiring opini publik melalui sentimen emosional, bukan melalui argumen yang masuk akal.
Ketika masyarakat lebih banyak disuguhkan dengan konten yang memecah belah atau menguatkan bias emosi mereka, ruang untuk diskusi rasional tentang masa depan daerah semakin menyempit.
Tidak Ada Perdebatan Kebijakan yang Substantif
Pilkada yang sehat seharusnya menjadi ajang bagi perdebatan kebijakan yang substantif. Kandidat, mesti bersaing dalam mempresentasikan rencana mereka untuk memperbaiki ekonomi lokal,
Misalnya, kegagalan sering kali dikaitkan dengan “gangguan eksternal” seperti ancaman dari luar negeri, atau musuh politik domestik, yang pada akhirnya mengalihkan perhatian dari akuntabilitas pribadi sang politisi. Ini menjadi strategi efektif untuk menghindari pertanggungjawaban secara langsung atas kinerja dan janji politik mereka.
Kembalikan Pilkada pada Esensinya
Jika kita terus membiarkan sentimen menggantikan argumen dalam Pilkada, apa yang tersisa dari proses demokrasi yang seharusnya mendewasakan masyarakat?
Pilkada bukan hanya sekedar memilih siapa yang paling populer atau siapa yang mampu memicu sentimen terkuat.
Tetapi, Pilkada adalah persoalan tentang memilih pemimpin yang benar-benar memiliki kemampuan untuk membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Untuk mengembalikan esensi demokrasi dalam Pilkada, kita harus memulai dengan menuntut lebih kepada para kandidat.
Masyarakat perlu didorong untuk lebih kritis dalam menilai program, menuntut debat yang berfokus pada kebijakan, dan menolak manipulasi sentimen yang dangkal.
Media massa atau media sosial juga memiliki peran penting untuk memfasilitasi perdebatan yang berbasis data, bukannya memperkuat sentimen yang memecah belah.
Mengedukasi pemilih juga penting, bahwa memilih pemimpin bukan hanya soal siapa yang bisa menggerakkan emosi mereka, tetapi tentang siapa yang paling mampu membawa perubahan nyata.
Emosi memang penting, tetapi tanpa argumen yang kuat dan program yang jelas, sentimen hanya akan meninggalkan kekecewaan.
Pilkada seharusnya menjadi momen di mana kita menguji kemampuan pemimpin, bukan hanya perasaan kita terhadap mereka.
Jika demokrasi ingin bertahan sebagai sistem yang mampu memperbaiki kehidupan masyarakat, maka argumen harus kembali menempati panggung utama dan sentimen harus diposisikan hanya sebagai penggerak, bukan tujuan.(*).