Oleh: Alizamzami
BELUM genap 100 hari menjabat, pucuk pimpinan baru (bupati-red) Kabupaten Aceh Selatan sudah membuat keputusan yang menimbulkan kegaduhan publik.
Kebijakan yang mengatasnamakan efisiensi anggaran justru dinilai sebagai langkah yang keliru, bahkan memalukan.
Di tengah ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya kepemimpinan baru yang solutif, justru muncul kebijakan yang tampak gegabah dan terburu-buru, tidak transparan, dan tidak berpihak pada rakyat kecil.
Efisiensi atau Pemborosan Sosial
Secara teori, efisiensi anggaran adalah langkah positif. Namun dalam praktik, efisiensi tidak berarti asal memangkas tanpa arah yang jelas.
Apalagi tanpa kajian mendalam, transparans, serta komunikasi yang baik dengan publik, efisiensi justru bisa menjadi pemborosan sosial : mengorbankan program penting, memicu keresahan, dan, bahkan mencederai kepercayaan publik (trust publik).
Alih-alih memperlihatkan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, kebijakan ini justru memperlihatkan lemahnya koordinasi dan buruknya proses pengambilan keputusan.
Pertanyaannya, apakah ini cermin dari ketidaksiapan dalam memimpin? Atau justru simbol dari kegagalan membaca kebutuhan rakyat secara nyata?
100 Hari Sejatinya Jadi Pondasi, Bukan Kontroversi
Seratus hari pertama adalah masa emas untuk menunjukkan arah, ketegasan, dan keberpihakan kepada rakyat.
Sayangnya, di Aceh Selatan, pemimpinnya justru memunculkan “signal” yang sebaliknya.
Bukannya menciptakan kepercayaan, pemerintah daerah, tetapi membuka ruang ketidakpercayaan dan kecemasan masyarakat di tengah-tengah dinamika sosial.
Kita melihat, keputusan yang diambil Bupati H. Mirwan tidak melibatkan publik, tanpa transparansi, tanpa data, dan tanpa mekanisme kontrol yang jelas adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip tata kelola yang baik.
Pemerintah tidak bisa berjalan seperti menutup telinga dari suara rakyat. Apalagi di daerah yang punya sejarah panjang soal konflik, ketidakadilan, dan sensitif terhadap kebijakan-kebijakan elitis.
Komunikasi Pemerintah Daerah Buruk, Rakyat Jadi Korban
Dalam krisis kebijakan, komunikasi yang baik adalah kunci. Namun sayangnya, pemerintah Aceh Selatan gagal menjaga komunikasi publik (komunikasi timbal balik).
Pada bagian ini, Pemda tidak melakukan klarifikasi resmi untuk menjelaskan alasan kebijakan. Di sisi lain, bupati tidak melibatkan DPRK atau tokoh masyarakat lain, dan tidak ada pendekatan persuasif (approach) kepada masyarakat yang mulai kecewa.
Ketika suara rakyat tidak ditanggapi secara terbuka dan santun, maka ruang kosong itu akan diisi oleh spekulasi, kecurigaan, bahkan penolakan.
Alasan ini bukan hanya soal manajemen anggaran, tetapi juga soal kepercayaan sosial. Dan, ketika kepercayaan publik dirusak di awal masa jabatan, maka akan sangat sulit membangunnya kembali.
Waktunya Koreksi, Bukan Pembenaran
Pemerintah Aceh Selatan harus berani mengakui bahwa ada kesalahan dalam pengambilan keputusan ini. Tidak cukup hanya menyalahkan pihak tertentu atau memberikan pembenaran yang normatif. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret dan terukur untuk mengoreksi arah.
Beberapa hal yang perlu segera dilakukan antara lain, melakukan evaluasi total kebijakan efisiensi anggaran, termasuk mengaudit proses penyusunan dan pihak-pihak yang terlibat.
Kedua, membuka data ke publik, agar masyarakat tahu apa dasar kebijakan tersebut dan bagaimana dampaknya bagi pelayanan umum.
Berikutnya, melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk DPRK, tokoh adat, tokoh agama, akademisi, dan LSM lokal dalam forum terbuka.
Dan, yang ke-empat, membangun kembali kepercayaan dengan komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan rendah hati.
Menatap ke Depan : Jangan Mengulangi Kesalahan
Ibarat pepatah, Keledai tidak mau jatuh lobang yang sama, yang bermakna, jangan terjadi pengulangan kesalahan yang sama.
Jadi, polemik di Aceh Selatan ini harus dijadikan peringatan keras bahwa kepemimpinan bukan hanya soal siapa yang menjabat, tetapi soal bagaimana dia menjalankan kepemimpinannya.
Harus disadari, rakyat Aceh Selatan tidak menuntut keajaiban. Mereka hanya ingin pemimpinnya jujur, transparan, dan peduli terhadap yang lemah.
Kepemimpinan yang hebat adalah kepemimpinan yang sanggup mengakui kesalahan dan memperbaikinya dengan cepat.
Maka, jika pemerintah Aceh Selatan benar-benar ingin membawa perubahan, maka perubahan itu harus dimulai dari cara pemimpin mendengar suara rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Penulis : Alizamzami, mantan aktivis HAM dan kini Kordinator LSM FORMAKI Aceh