OPINI  

Pendidikan sebagai Hak Dasar dan Tantangan Nyata di Aceh

Oleh: Irwanda M. Jamil, S.Ag

Pendidikan adalah fondasi peradaban. Dalam Islam, kedudukannya sangat mulia karena menjadi jalan manusia menuju kemuliaan. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ialah “Iqra’” (Bacalah) (QS. Al-‘Alaq: 1), yang menegaskan pentingnya membaca, memahami, dan mencari ilmu. Rasulullah SAW bersabda,

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)^ Artinya, pendidikan bukan cuma aktivitas duniawi, tetapi kewajiban syar’i yang melekat pada setiap muslim dan muslimah. Tanpa pendidikan, manusia akan terperangkap dalam kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Namun, realitas pendidikan di Indonesia, termasuk Aceh, masih menghadapi tantangan serius. Data tahun 2023 menunjukkan angka anak tidak sekolah (ATS) meningkat tajam pada jenjang menengah. Hanya 0,67 persen anak tidak bersekolah di tingkat SD, tetapi jumlah ini melonjak menjadi 6,93 persen di SMP, dan mencapai 21,61 persen di SMA. Jika dirinci menurut jenis kelamin, anak laki-laki lebih rentan putus sekolah (23,78 persen ) dibanding perempuan (19,34 persen )^2. Fakta ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar risiko anak meninggalkan sekolah. Faktor ekonomi, akses, dan motivasi belajar menjadi penyebab dominan.

Penyebab Merosotnya Pendidikan

Ada sejumlah faktor yang mendorong kemerosotan pendidikan. Pertama, ketidakpedulian orang tua (fatherless) dalam mendampingi anak-anaknya belajar. Pendidikan seharusnya berawal dari rumah, tetapi tidak semua orang tua menyadari peran sentralnya. Kedua, kemiskinan, yang menyebabkan banyak keluarga tidak mampu membiayai kebutuhan dasar pendidikan. Ketiga, akses sekolah terbatas, terutama di daerah pedalaman yang jaraknya jauh dan sulit dijangkau. Keempat, pengaruh lingkungan sosial yang tidak mendukung semangat belajar, misalnya pergaulan yang cenderung mengarah pada kenakalan remaja.

BACA JUGA...  Peureulak Lon Sayang; Kota Tua (Sengaja) Dilupakan

Faktor lain adalah minimnya kepedulian masyarakat dan pemimpin. Pendidikan kerap kali hanya dipandang sebagai urusan formalitas, bukan sebagai tanggung jawab kolektif. Selain itu, lemahnya kolaborasi lintas sektor dan absennya mekanisme pengawasan memperburuk keadaan. Tidak jarang pula, kebijakan pemerintah justru memperlihatkan ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat. Contoh nyata adalah rencana Pemerintah Kabupaten Aceh Barat untuk menutup sejumlah sekolah.

Penolakan terhadap Penutupan Sekolah

Kebijakan penutupan sekolah di Aceh Barat menuai protes keras dari berbagai pihak, terutama kalangan mahasiswa. Rivaldi, Ketua Umum HMI FKIP Universitas Syiah Kuala, menegaskan bahwa kebijakan tersebut adalah bentuk pengabaian terhadap hak dasar anak untuk memperoleh pendidikan. Bahkan, muncul potret memilukan di mana siswa menangis karena sekolah mereka akan ditutup. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami suara rakyatnya^3.

Menurut Rivaldi, penutupan sekolah bukanlah solusi. Kebijakan itu justru akan memperpanjang jarak tempuh anak-anak menuju sekolah, membebani orang tua secara finansial, serta mengancam keberlangsungan hidup para guru. Lebih jauh, tindakan ini bertentangan dengan amanat konstitusi yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan (UUD 1945 Pasal 31)^4. Dalam kerangka Islam, kebijakan yang merampas hak pendidikan jelas bertentangan dengan prinsip maslahah dan keadilan.

Jalan Keluar yang Berbasis Solusi

BACA JUGA...  Apresiasi untuk Kepemimpinan Visioner : Bupati Aceh Selatan dan  Peningkatkan Kesejahteraan

Untuk memperbaiki keadaan, sejumlah langkah solutif perlu ditempuh. Pertama, memperkuat peran orang tua dalam mendidik anak, karena rumah adalah madrasah pertama. Kedua, membangun kolaborasi lintas sektor, melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat sipil. Ketiga, penyaluran bantuan biaya pendidikan dan perlengkapan belajar yang merata, sehingga anak dari keluarga miskin tidak terhambat. Keempat, menghidupkan fungsi Baitul Mal gampong dengan program pendidikan, seperti beasiswa, pengadaan alat belajar, dan subsidi bagi guru honorer.

Selain itu, masyarakat perlu melakukan konsolidasi sosial dan motivasi kolektif agar keluar dari mentalitas pasrah terhadap keterbatasan. Solidaritas warga juga penting: gotong royong dalam membantu anak-anak bersekolah adalah bentuk nyata kepedulian yang bernilai ibadah. Pemerintah daerah harus meninggalkan kebijakan instan seperti penutupan sekolah, lalu beralih pada strategi penguatan kualitas pendidikan, misalnya peningkatan kapasitas guru, perbaikan sarana prasarana, serta inovasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pendidikan dalam Perspektif Islam

Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Allah SWT berfirman:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu adalah sumber kemuliaan dan kedudukan. Pendidikan bukan hanya untuk memperoleh pekerjaan, melainkan untuk memuliakan manusia di sisi Allah. Dengan demikian, mengabaikan pendidikan sama artinya dengan menutup jalan kemuliaan yang Allah janjikan.

Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim)^5. Hadis ini mengandung pesan mendalam bahwa pendidikan adalah investasi ukhrawi, bukan hanya duniawi. Oleh karena itu, kebijakan apa pun yang melemahkan akses pendidikan sama saja dengan menghalangi umat dari jalan kebaikan.

BACA JUGA...  Pacu Mutu Pendidikan Aceh, Perlu Kolaborasi DPRA

Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara sekaligus kewajiban agama. Islam menegaskan bahwa ilmu adalah cahaya peradaban, sedangkan konstitusi menjamin hak belajar bagi seluruh rakyat. Namun, fakta menunjukkan bahwa angka anak tidak sekolah di Aceh, khususnya pada jenjang menengah, masih tinggi.

Kasus penutupan sekolah di Aceh Barat harus menjadi cermin bagi pemerintah daerah agar lebih bijak dalam mengambil kebijakan. Solusi pendidikan tidak boleh didasarkan pada pertimbangan administratif semata, melainkan harus berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan generasi. Jika pendidikan dibiarkan merosot, maka yang hilang bukan hanya kesempatan belajar, tetapi juga martabat masyarakat. Sebaliknya, jika pendidikan ditegakkan, maka akan terwujud generasi cerdas, berakhlak, dan mampu membawa Aceh serta Indonesia menuju kemajuan.(*)

Penulis : Irwanda M. Jamil, S.Ag
ASN di Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh