TAPAKTUAN (MA) — Fungsi pemerintahan dalam satu daerah sama juga dengan pemerintahan satu negara. Hanya tingkat dan cakupan kewenangannya saja yang berbeda sebagaimana diatur dalam UU dan peraturan.
Begitu juga pemerintahan Aceh Selatan, mempunyai kewenangan untuk mengatur, melayani, membangun dan memberdayakan kehidupan masyarakat di wilayahnya.
Demikian dikemukakan salah seorang pemerhati pemerintahan di Aceh Selatan Teuku Sukandi, dalam rilis yang diterima mediaaceh.co.id di Tapaktuan, Rabu, (5/2).
Dia berteori tentang pemerintahan itu, sehubungan keberadaan sebuah perusahaan tambang yang sudah lebih 20 tahun di Kluet Tengah Aceh Selatan yang mampu “mengalahkan” pemerintahan Aceh Selatan.
Selama itu pula, perusahaan tambang bijih besi PT. Pinang Sejati Utama (PSU) telah menipu pemerintah Aceh Selatan dan rakyat yang berjumlah lebih dari 240 Ribu jiwa.
“Saking bodohnya (dalam tanda kutip) selama dua puluh tahun Pemerintahan Aceh Selatan mampu ditipu PT. PSU,” katanya.
Menurutnya, salah satu tipuan adalah PT. PSU yang merupakan badan usaha entitas bisnis yang berorientasi pada keuntungan tidak memiliki struktur dan manajemen yang jelas berdasarkan aturan yang berlaku di republik ini (UU No 3 tahun 1982 Tentang Badan Usaha)
Dikatakannya aneh, karena keberadaan perusahaan tambang bijih besi PT. PSU di kabupaten Aceh Selatan puluhan tahun tidak memberikan kontribusi apapun pada pemerintah dan masyarakat daerah kabupaten Aceh Selatan yang ada PT. PSU.
PT. PSU yang sudah mengangkut puluhan ribu mineral biji besi dan mineral ikutannya (diduga ada mineral emas, perak dan uranium) untuk diolah baik di dalam negeri maupun luar negeri (terutama China) dengan perkiraan keuntungan yang diraup ribuan milyar rupiah.
Perusahaan itu, eksis di Aceh Selatan dimulai dari pemerintahan Aceh Selatan yang dipimpin Bupati Husin Yusuf (periode 2008-2013).
Perusahaan itu, mengeksploitasi tambang setelah menguasai lahan Koperasi Tiga Manggis Kluet Tengah atas dasar kerjasama.
Dari amatannya, perusahaan itu tidak lebih dari parasit atau benalu yang menumpang hidup tetapi mematikan dengan mengeruk kekayaan sumber daya alam kabupaten Aceh Selatan yang merupakan milik negara NKRI.
“Dengan demikian dapat kita katakan, Aceh Selatan telah ditipu sambil berdiri,” kata Teuku Sukandi dalam nada tawa.
Dia mempertegas, bahwa PT. PSU adalah perusahaan tambang yang hanya menumpang dan mencari hidup di Aceh Selatan tanpa dapat menghidupi masyarakat Aceh Selatan berdasarkan ketentuan aturan hukum positif yang berlaku
Padahal di dalam dasar hukum negara kesatuan Republik Indonesia dinyatakan bahwa “bumi dan air serta segala kekayaan yang terkandung didalamnya adalah milik negara yang di pergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat” (pasal 33 ayat 3 UUD 1945)
Demikian juga tentang turunan hukum dasar ini telah di buat aturan lainnya sebagai pedoman petunjuk pelaksana dan petunjuk teknisnya, akan tetapi Pemda kabupaten Aceh Selatan sampai saat ini tidak dapat menemukan dasar hukum untuk membuat regulasi (qanun) tentang PT. PSU untuk dapat berkontribusi pada peningkatan PAD.
Padahal UU No 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara telah mengatur tentang segala urusan tambang dan mineral serta dikuatkan lagi dengan segala petunjuk pelaksana dan petunjuk teknisnya seperti : PP Nomor 45 tahun 2003 Tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PP Nomor 25 tahun 2021 Tentang penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral dan serta Keputusan Mentri ESDM No.K/HK.02/NEM.B/2022.
Sebegitu lengkapnya aturan tentang minerba, tetapi pemerintahan kabupaten Aceh Selatan (eksekutif dan legislatif) tidak mampu dan berdaya.
“Untuk mengimplementasikan saja tidak mampu, maka pantas saja pemerintah Aceh Selatan telah dibodohi oleh PT. PSU puluhan tahun lamanya,” katanya.
Menurutnya, tentang berapa penerimaan bagi hasil tentang royalti saja Pemda Aceh Selatan tidak mengetahui dan tidak pernah mengumumkannya pada publik padahal di regulasi penerimaan royalti itu di berikan pada negara 10%.
Dan, dari harga jual bijih besi tersebut perincian pembagian dari penerimaan royalti 10% itu adalah 20% untuk pusat, 32% untuk provinsi, 32% untuk kabupaten/kota penghasil dan sisanya 16% disubsidi pada kabupaten/kota yang bukan daerah penghasil di dalam provinsi yang bersangkutan.
Bahwa pemahaman sederhananya tentang aturan hukum itu adalah kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh dua belah pihak atau lebih yang bebas dari pada paksaan atau tekanan maka hal itu adalah aturan hukum yang sifatnya mengikat, katanya.
“Bila kita takar dengan nalar hukum positif tentang pernyataan janji PT. PSU pada pemerintah Aceh Selatan maka dapat di nilai PT. PSU adalah perusahaan tambang bijih besi yang tidak taat hukum karena telah mengingkari janji dan pernyataannya sendiri dengan Menipu dan Membohongi Pemda kabupaten Aceh Selatan,” ungkapnya.
Dia juga menarik kesimpulan dari pernyataan Pj. Bupati Aceh Selatan Cut Syazalisma melalui Plt. Asisten Bidang Ekonomi Setdakab Aceh Wili Cahyadi, bahwa Aceh Selatan tidak mendapatkan apa-apa dari PT. PSU adalah pernyataan yang membenarkan “kebodohan” tersebut.(Maslow Kluet).