TAPAKTUAN | MA — Pada momen tertentu, seperti saat kenduri sawah, “Mak Meugang” dan Idul Fitri, makanan tradisional ini hadir sebagai hidangan khas bagi masyarakat Aceh.
Khususnya, di pedalaman Aceh, menu ini masih menjadi hidangan istimewa.
Adalah “leumang” nama masakan itu, yang sangat istimewa bagi masyarakat Aceh.
Dia terbuat dari beras ketan, santan, dan garam yang dimasak dengan media balutan daun pisang muda dalam ruas batang bambu muda selama beberapa jam di tungku (biasanya berjejer di atas bentangan) kayu atau besi.
Menjelang hari raya Idul Fitri ini pun, sebagai momen memasak “leumang”. Kendati mulai tergerus oleh zaman dan minimnya dijumpai pokok bambu, bagi sebagian masyarakat Aceh Selatan misalnya Suku Kluet, masakan ini masih menghiasi hidangan “kue/juadah” lebaran.
Pada kalangan Suku Kluet, masakan itu disebut “riris” dan kalau memasak dikatakan dalam bahasa Kluet “ngeriris”.
Hasil masakan itu, menjadi panganan primadona di berbagai acara adat dan perayaan keagamaan.
Tetapi, karena batang bambu sulit didapatkan, maka sebagian masyarakat terpaksa tidak “ngeriris”. Hilangnya tumbuhan bambu menjadi riwayat tersendiri, akibat dirambahnya “pulau” bambu untuk kebun kelapa sawit.
Kembali ke masakan “leumang”. Masakan ini, termasuk jenis kuliner khas yang juga dipamerkan dalam berbagai festival oleh kalangan milenial dengan maksud untuk melestarikan.
Sebelum bisa disantap, “leumang” dimasak seperti yang disebutkan di atas, dengan media ruas bambu yang dilapisi daun pisang. Kemudian dibakar dalam perapian hingga matang dan praktis menghasilkan aroma khas yang dapat menggugah selera.
Hasbaini, S.Pd, M. Pd, seorang pemerhati budaya, khususnya Kluet dan akademisi, mengatakan, “leumang” bukan sekedar makanan, tetapi juga bagian dari kearifan lokal masyarakat Aceh.
Proses pembuatannya mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan, di mana warga biasanya berkumpul untuk menyiapkan bahan dan memanggang Leumang secara bersama-sama. Ini menjadi momen silaturahmi yang memperkuat hubungan sosial antar warga.
“Basanya, “leumang” Aceh disajikan pada perayaan besar seperti bulan Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, dan acara adat pernikahan maupun kenduri (sawah dan lain-lain),” kata Hasbaini kepada mediaaceh.co.id di Tapaktuan, Minggu, (23/3).
Dia juga melihat, jika suatu saat “leumang” juga menjadi suguhan khas saat menyambut tamu kehormatan atau dalam tradisi “Mak Meugang”, yaitu tradisi memasak dan makan bersama sebelum bulan puasa dan hari raya.
Cita rasa “leumang” memang yang gurih dan teksturnya yang kenyal menjadikannya favorit bagi masyarakat Aceh.
Tidak jarang, makanan ini juga dijadikan oleh-oleh khas bagi wisatawan yang berkunjung ke Aceh.
Dia berharap, masakan tradisional ini dapat dilestarikan sebagai salah satu khasanah budaya Aceh.
Dengan pelestarian “leumang”, maka akan menjadi warisan budaya yang tinggi nilainya.
Dia akan tetap eksis di tengah perkembangan dan pergulatan zaman yang semakin canggih.(Maslow Kluet).