OPINI  

La Nyallah dan Candidacy Buying

Oleh Akhmad Bumi

La Nyallah dan orang-orang dibelakangnya asal bunyi tiada henti terkait “mahar politik” untuk Pilkada Jawa Timur. Bahkan tim hukum La Nyallah Mahmud Mattalitti menyebutkan akan membawah hal ini ke KPK untuk diproses. Apa hubungannya dengan KPK? Delik Pemilu tidak bisa dijadikan delik khusus. Kriteria suatu delik khusus dilihat dari korban. Lain hal kalau ybs penyelenggara negara dan uang tsb adalah uang negara. Kalau uang Negara maka kembali pada KPK untuk proses sesuai kewenangan. Tapi kalau korban adalah orang perseorangan dan hal ini terkait Pilkada maka rujukannya pada UU Pilkada.

Kalau La Nyallah seorang penyelenggara negara/pejabat Negara maka La Nyallah dan pihak terkait dapat dikenakan pasal 12 huruf E, jika uang yang digunakan adalah uang Negara maka dapat dikenakan pasal 2 dan 3 UU Tipikor dan KPK memprosesnya, karena terkait kerugian Negara.

*La Nyallah Gagal*

Dalam keterangan La Nyallah kepada media menjelaskan bahwa sudah mengeluarkan uang senilai Rp 5,9 miliar dan cek senilai Rp 70 milyar, tapi cek senilai Rp 70 milyar tsb belum cair, cek dicairkan setelah terbit rekomendasi DPP Gerindra, uang dan cek diatas La Nyallah berikan kepada Supriyanto, Ketua DPD Partai Gerindra Jawa Timur.

La Nyallah juga menjelaskan ketika dimintakan uang senilai Rp 170 miliar oleh Supriyanto, Ketua DPD Gerindra Jawa Timur. Uang tsb diminta melalui Tubagus Danil Hidayat yang merupakan Tim Pemenangan La Nyalla. Selain itu, pada saat deklarasi Cagub/Cawagub Jabar, pasangan Mayjen (Purn) Sudrajat-Ahmad Syaikhu, La Nyallah diberitahu oleh Prabowo untuk siapkan uang senilai Rp 40 miliar yang digunakan untuk membayar saksi di tempat pemungutan suara saat Pilkada,(Tribun Jateng, 11/1/2018).

Penjelasan di Tribun Jateng yang disebutkan diatas adalah penjelasan sepihak La Nyallah Mahmud Mattalitti, sejauh ini tidak ada keterangan dari Supriyanto, Ketua DPD Gerindra Jawa Timur. Pernyataan resmi DPP Gerindra membantah pernyataan La Nyallah terkait uang Rp 5,9 milyar, Rp 70 milyar dan Rp 40 milyar sebagaimana disebutkan diatas, menurut DPP Gerindra melalui Ahmad Riza Patria sebagaimana dirilis tempo.co (11/1/2018), tidak ada mahar politik dalam Pilkada. Demikian juga partai Gerindra melalui akun twitternya menyebutkan :

BACA JUGA...  Pemimpin dan Pengusaha "Ibarat Dua Sisi Mata Uang Yang Tak Terpisahkan"

“Tidak ada mahar di @Gerindra. Apalagi mahar politik. Silakan konfirmasi langsung kepada pak @jokowi, @basuki_btp, @ridwankamil, @aniesbaswedan, dan @sandiuno yang pernah kami dukung dan berhasil menjadi kepala daerah,” cuit Partai Gerindra dalam akun Twitter-nya, Kamis (11/1/2018).

Demikian cuitan melalui akun twitter oleh Fadhli Zon menjelaskan hal yang sama. Demikian juga melalui akun Facebook milik Pius Lustrilanang menyebutkan hal yang sama, intinya tidak ada mahar politik sebagaimana disebutkan La Nyalla Mahmud Mattalitti.

*Delik Pemilu*

Candidacy Buying atau pembelian kandidat atau uang sewa perahu rujukannya pada UU Pilkada. Dalam UU Nomor : 10 tahun 2016 tidak mengatur soal sanksi pidana terkait mahar politik atau Candidacy Buying atau beli perahu, hal itu dapat dibaca pada jenis-jenis tindak pidana pemilu sesuai UU Nomor: 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang diatur dalam pasal 73 dan 74. Yang ada pasal itu mengatur Vote Buying atau beli suara dalam pemilihan (Pilkada).

Praktik Candidacy Buying bisa ditemukan pada UU Pillada yang lama yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) UU Nomor : 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang mengamanatkan bahwa tidak boleh ada transaksi uang dari calon kepala daerah kepada partai politik.

Dalam Pasal 47 ayat (1) dan (6), dikutip sbb :

Ayat (1) menyebutkan : “Partai Politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota”.

BACA JUGA...  Rapor Merah Dibalik WTP Aceh Jaya, Pintu Masuk KPK

Sedangkan ayat (6) menyebutkan : “Setiap partai politik atau gabungan parati politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima”.

Dari UU Nomor : 10 tahun 2016 tentang Pilkada, tidak ada pasal mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik atau beli perahu.

Pada pasal 47 ayat (2) UU yang lama mengatur jika parpol yang terbukti menerima imbalan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Sedangkan calon atau kandidat jika terbukti memberi imbalan dalam proses pencalonan maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Walikota dapat dibatalkan atau didiskualifikasi.

Tapi pelaksanaan dari ketentuan pasal 47 ayat (2) diatas jika telah diputuskan di pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap.

Nah, La Nyallah Mahmud Mattalitti sebagai bakal calon Gubernur Jawa Timur *gagal* menjadi calon, olehnya pasal 47 ayat (1), (2) dan (6) tidak berlaku dan juga pasal tsb sudah tidak berlaku karena UU telah diubah dengan UU Nomor : 10 tahun 2016.

Partai Gerindra adalah Partai yang dibentuk berdasar UU Partai Politik dan berbadan hukum. Kaitan dengan tindak pidana adalah perbuatan dan tanggungjawab pribadi seseorang (strafbaarheid), perbuatan pidana tidak dilekatkan pada tanggungjawab jabatan.

Kaitan dengan pernyataan La Nyallah Mahmud Mattalitti terkait Rp 5,9 milyar dan cek senilai Rp 70 milyar yang diberikan kepada Suprianto adalah tanggungjawab Supriyanto, DPP Gerindra secara resmi membantah uang-uang tersebut sebagaimana disebutkan diatas.

Jika benar ada pemberian uang senilai Rp 5,9 milyar dan cek senilai Rp 70 milyar apa ada perjanjian jika dilakukan oleh Partai Gerindra, perjanjian antara La Nyallah dan Partai Gerindra atau minimal ada surat yang mengatur petunjuk terkait Pilkada berikut biaya-biaya: biaya mahar atau biaya untuk kepentingan yang lain misalnya biaya saksi, logistik, pelatihan dll, karna hal ini kaitan dengan Partai Gerindra yang tunduk pada UU Parpol dan berbentuk badan hukum.

BACA JUGA...  Mewarisi Nilai Ibadah dalam Merayakan Kemerdekaan 

Jika hal demikian tidak ada, maka perbuatan tersebut menjadi tanggungjawab Supriyanto, bisa penipuan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP, bukan tanggungjawab Partai Gerindra apalagi Prabowo. Karena hubungan
hukumnya menjadi putus. Yang ada adalah hubungan hukum antara Supriyanto dan La Nyallah.

Jika hal tsb ditarik ke rana pidana sebagaimana pernyataan tim hukum La Nyallah Mahmud Mattalitti maka harus dibuktikan bahwa perbuatan tsb sesuai dengan motifnya dan tujuan yang hendak dicapai. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal. Karena apa yang dilakukan Supriyanto belum tentu dikehendaki oleh Partai Gerindra, hal ini kaitan dengan pernyataan DPP Gerindra yang membantah tudingan La Nyallah.

Lalu terkait uang Rp 40 milyar yang disebut La Nyallah adalah menjadi kewajiban La Nyallah yang harus disiapkan oleh La Nyalla jika resmi menjadi calon dan uang tersebut untuk kepentingan saksi. Tidak memiliki dampak hukum apa-apa karena akibatnya belum terjadi.

Lalu apa kaitan dengan Prabowo dalam kasus La Nyallah Mattalitti ini sampai tim hukum La Nyallah menyebut-nyebut nama Prabowo? Inilah politik, La Nyallah hanyalah martir yang dititip untuk menghancurkan Prabowo menjelang hajatan Pilpres 2019. Tapi rakyat Indonesia sudah cerdas, mereka faham bahwa hukum di era ini telah dijadikan alat untuk membunuh lawan-lawan politiknya.