OPINI  

Hardiknas Tanpa Makna : Ketika Sekolah Menjadi Ruang Transaksi, Bukan Transformasi

Oleh: Alizamzami 

SETIAP 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), sebuah momen yang seharusnya menjadi refleksi mendalam atas wajah pendidikan kita.

Namun peringatan tahun ini, gemanya  terasa hampa, nyaris kehilangan makna.

Di saat negara menggaungkan “Merdeka Belajar”, justru rakyat banyak yang mengeluhkan beratnya beban biaya pendidikan, bahkan sejak langkah pertama anak menginjakkan kaki ke sekolah.

Di berbagai daerah, terutama di Aceh, masyarakat dikejutkan oleh fenomena wisuda yang dipaksakan di tingkat PAUD, SD, SMP hingga SMA, yang disertai dengan pungutan jutaan rupiah.

Padahal, momen kelulusan itu hanyalah transisi, bukan perayaan akademik. Namun telah berubah menjadi proyek seremonial tahunan, yang tak hanya membebani orang tua, tetapi juga menyimpang dari esensi pendidikan itu sendiri.

BACA JUGA...  Akibat Jebolnya Tanggul Krueng Pasee, SD 1 Samudera Terendam Banjir

Lebih dari itu, orang tua siswa baru juga menghadapi praktik “biaya masuk sekolah” yang dikemas dalam berbagai item dengan dalih, uang komite, uang pakaian, uang gedung, uang bangku, bahkan sumbangan sukarela yang bersifat wajib.

Padahal, menurut aturan, pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan pemerintah seharusnya gratis dan bebas pungutan liar.

Lalu di mana nilai Hardiknas yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara? Bukankah Beliau mengajarkan,  bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan? Bahwa sekolah adalah rumah rakyat, bukan ladang pungutan?

Ironisnya, semangat gotong royong kini tergantikan oleh semangat transaksional.

Komite sekolah yang semestinya menjadi wakil orang tua dalam pengawasan, justru sering bersekutu diam-diam dalam meloloskan pungutan. Sekolah yang semestinya menjadi pelindung, kini berubah menjadi institusi yang membebani.

BACA JUGA...  Sejumlah Sekolah dan Guru di Aceh Utara Terima Penghargaan Hardiknas 

Tak berlebihan jika publik hari ini kecewa. Hardiknas tak lagi dirayakan dengan perbaikan sistem, melainkan dengan selebrasi yang menutupi ketimpangan.

Saat para pejabat berpidato tentang pendidikan bermartabat, di lapangan orang tua harus menjual barang berharga agar anaknya bisa ikut “wisuda TK”.

Kondisi ini harus dihentikan. Pemerintah Daerah, baik Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kabupaten/Kota, tidak bisa terus saling lempar tanggung jawab.

Surat edaran Menteri dan Dinas Pendidikan Provinsi sudah cukup jelas: kegiatan wisuda tidak boleh bersifat wajib dan tidak boleh dibebankan ke orang tua murid.

Jika benar Hardiknas adalah hari keramat bagi dunia pendidikan Indonesia, maka seharusnya ia dijadikan momen kritik dan pembenahan.

BACA JUGA...  Indonesia Gagal Berhaji, Natalius Pigai Akan Gugat ke Mahkamah Agung

Hentikan komersialisasi sekolah, dan sebaliknya beri ruang kepada nilai. Berikan kembali makna kepada pendidikan sebagai jalan pembebasan, bukan transaksi. Karena pendidikan sejatinya bukan soal gedung mewah, toga, atau panggung hiasan.

Semoga arwah Kihajar Dewantara tidak kecewa melihat Rakyat Indonesia belum “merdeka pendidikannya”, walau Kurikulum Merdeka dibanggakan oleh elite bangsa.

Penulis : Alizamzami adalah aktifis dan pengamat kebijakan publik.