LHOKSEUMAWE (MA) — Tgk. Muhammad Nur mempertanyakan keabsahan dukungan Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh) terhadap pasangan Bustami Hamzah – Fadhil Rahmi, terutama terkait legalitas kepengurusan Majelis Pengurus Pusat (MPP) PAS Aceh.
Juru bicara tim pemenangan Mualem – Dek Fadh di Lhokseumawe, melalui siaran pers pada Senin (7/10), menyatakan bahwa berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PAS Aceh, khususnya Pasal 25, disebutkan bahwa untuk membentuk kepengurusan yang definitif dan aspiratif, MPP harus menyelenggarakan Musyawarah Akbar dalam waktu paling lambat satu tahun sejak partai tersebut dideklarasikan.
“Partai yang lahir dari kesepakatan sejumlah ulama ini dideklarasikan pada 10 Muharram 1443 H atau 19 Agustus 2021 Masehi. Artinya, sudah lebih dari tiga tahun belum dilaksanakan Musyawarah Akbar untuk memilih kepengurusan MPP PAS Aceh yang definitif,” ungkap pimpinan Pesantren TABINA Aceh, Tgk. H. Muhammad Nur, M.Si.
Desak Panwaslih dan KIP Aceh Untuk Meninjau Kembali
Tgk. Muhammad Nur, yang juga Ketua MPW PAS Aceh Utara, berhasil mengantarkan partai tersebut meraih lima kursi di DPRK dan satu kursi di DPRA pada Pemilu Februari 2024 lalu. Demi kepastian hukum,
Ia meminta Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk memeriksa kembali legalitas posisi Tu Bulqaini sebagai Ketua Dewan Majelis Tanfidziyah atau Majelis Mustasyar. Hal ini penting karena Tu Bulqaini berwenang menandatangani dukungan, baik untuk pasangan calon gubernur seperti Bustami Hamzah, maupun untuk para calon bupati dan wali kota yang didukung oleh PAS Aceh.
Menurut Tgk. Muhammad Nur, kepastian hukum sangat penting karena AD/ART partai adalah hukum positif yang terdaftar di Kemenkumham. Pelanggaran terhadap AD/ART berarti melanggar hukum, yang pada akhirnya melanggar nilai-nilai demokrasi dan moral. “Mengabaikan Anggaran Dasar sama dengan mengabaikan hukum. Ini akan memalukan jika partai yang didirikan oleh para ulama, dan bercita-cita menjadi barometer moral politik, malah melanggar aturan internalnya sendiri,” katanya.
Lebih lanjut, Tgk. Muhammad Nur menjelaskan bahwa ketidakadaan pengurus MPP PAS Aceh yang definitif bisa berimplikasi pada tidak adanya wewenang hukum bagi kepengurusan saat ini untuk menandatangani dukungan pasangan calon gubernur maupun penetapan anggota dewan, baik DPRA maupun DPRK.
“Kita hidup di negara yang tidak tertib hukum. Apa lagi yang bisa kita katakan?” ujarnya.
Peringatan Bagi Panwaslih dan KIP Aceh
Tgk. Muhammad Nur tetap mendesak aparat hukum, khususnya Panwaslih dan KIP Aceh, untuk bersikap hati-hati dalam menangani masalah ini. “Konsekuensi hukumnya jelas. Jika ada rakyat yang mempersoalkan, mereka yang melanggar hukum akan digaji dari uang rakyat. Padahal, pengangkatannya tidak sah menurut hukum,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 25 AD/ART PAS Aceh menyebutkan bahwa Majelis Pengurus Wilayah (MPW), Majelis Pengurus Kecamatan (MPK), dan Majelis Pengurus Gampong (MPG) wajib menyelenggarakan musyawarah di tingkat masing-masing. “Bagaimana mungkin hasil musyawarah MPW bisa sah dan legal jika MPP PAS Aceh sendiri sudah tidak lagi legal?” pungkas Tgk. Muhammad Nur, yang kabarnya telah diberhentikan dari jabatannya. (R).






