HUKOM  

Jejak Mr. M di Hutan 102 Hektar yang Hilang

Ilustrasi

PALANGKA RAYA | MADi Lamandau, Kalimantan Tengah, saat angin pagi menyibak lembah-lembah sepi di Desa Suja, sebuah luka menganga tampak dari langit, sebidang besar hutan produksi tetap yang dulunya hijau dan rapat, kini telah berganti menjadi tanah gundul yang siap ditanami sawit. Luasnya 102 hektar, setara 190 lapangan bola, dan nilainya ditaksir merugikan negara lebih dari Rp 210 miliar.

Tapi dari balik angka itu, ada satu nama yang kini menyita perhatian aparat: seorang pria berinisial M, di kalangan penyidik disebut saja Mr. M.

Kisah ini bermula bukan dari investigasi negara, melainkan dari laporan korporasi. PT Grace Putri Perdana, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan itu, melaporkan keanehan, sebagian wilayah konsesi mereka telah dikerjakan pihak asing. Laporan itu masuk ke SPKT Polda Kalimantan Tengah pada 11 September 2024. Dari sana, tirai satu demi satu tersingkap.

Polisi menemukan bahwa Mr. M, tanpa izin, telah membabat habis 102 hektar hutan dalam tempo kurang dari tiga bulan, antara Juni hingga Agustus 2024.

Tim penyidik dari Ditreskrimsus Polda Kalteng tak hanya menemukan lahan yang telah bersih dari pohon, tapi juga 33 surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah bertanggal 24 Agustus 2023. Artinya, penguasaan lahan ini telah dirancang jauh sebelum eksekusi lapangan dilakukan.

BACA JUGA...  Kapolres Sabang Gelar Jum'at Curhat di Kawasan Wisata Iboih

“Modus operandi tersangka adalah membuka lahan di kawasan hutan produksi tetap untuk kegiatan perkebunan sawit tanpa izin,” ujar Kombes Erlan Munaji, Kepala Bidang Humas Polda Kalteng.

Tersangka dijerat dengan UU Kehutanan, yang telah diperkuat dalam UU Cipta Kerja. Ancamannya berat: 10 tahun penjara dan denda Rp 7,5 miliar. Namun pertanyaan yang lebih besar belum dijawab: siapa sebenarnya Mr. M?

Di desa tempat peristiwa ini terjadi, warga enggan banyak bicara. “Bukan orang sini, tapi sering kelihatan mobil alat berat dari arah barat waktu itu,” ujar seorang penduduk yang meminta identitasnya disembunyikan. Beberapa menyebut Mr. M sebagai “investor luar” yang datang membawa tenaga kerja dari kabupaten lain. Beberapa lainnya menyebutkan bahwa pekerjaan pembukaan lahan itu tidak mungkin dilakukan tanpa “lampu hijau” dari pihak tertentu.

Penelusuran lebih jauh mengungkap bahwa PT Grace Putri Perdana memegang izin resmi dari Kementerian LHK, sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Nomor: SK.740/MENLHK/SETJEN/HPL.00. Mereka memiliki hak legal atas kawasan hutan itu, dan pembukaan lahan oleh Mr. M terjadi di dalam wilayah konsesi tersebut. Lalu bagaimana bisa Mr. M menguasainya?

BACA JUGA...  Tiga Pelaku Bullying Terhadap Anak di Aceh Utara Ditahan

Kasus ini memperlihatkan celah pengawasan yang lebar. Jika bukan karena laporan PT Grace, sangat mungkin pembukaan lahan ini tidak pernah diketahui. Tak ada patroli kehutanan yang mendeteksi alat berat di tengah hutan, tak ada laporan dari pemerintah desa atau kecamatan. Padahal, proyek semacam ini tidaklah diam-diam.

Menurut ahli lingkungan yang dilibatkan polisi, nilai kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya berupa hilangnya kayu atau potensi ekonomi. Ada kerugian ekologis jangka panjang—terutama terkait rusaknya habitat satwa endemik dan terjadinya degradasi tanah. Jika dibiarkan, kata mereka, kawasan ini bisa menjadi pusat bencana baru: banjir, longsor, dan polusi sungai.

Lebih jauh, muncul dugaan bahwa Mr. M bukan pemain tunggal. Pola penguasaan lahan lewat surat pernyataan fisik bidang tanah menjadi modus klasik di Kalimantan dan Sumatera. Dengan sedikit pelicin dan stempel desa, seseorang bisa menciptakan legitimasi palsu atas tanah negara. Apalagi jika tujuan akhirnya adalah sawit—komoditas yang menjanjikan keuntungan cepat.

BACA JUGA...  Polsek Baktiya Gelar Buka Puasa Bersama dan Santuni Anak Yatim

Kasus ini mengulang tragedi lama. Di balik setiap hektar hutan yang hilang, selalu ada nama-nama yang tak tercatat dalam dokumen resmi. Mereka tak pernah muncul dalam berita konferensi pers, tapi mereka ada—di balik layar, menyusun strategi, menjual tanah negara seolah milik pribadi.

Akhir April 2025, Mr. M ditahan. Tapi pertanyaan penting masih belum terjawab: Apakah ia bagian dari jaringan yang lebih besar? Atau hanya pelaku lapangan dari sistem yang lebih licin?

Di Lamandau, pagi-pagi buta, hutan yang kini tinggal debu menyimpan jawabannya. Dan selama sistem pengawasan masih berlubang, bukan tak mungkin akan ada “Mr. M” lain—dengan nama berbeda, tapi modus serupa. (R)