Delapan Belas Tahun Damai Aceh dan Secuil Kisah Mantan Prajurit GAM
LIMA BELAS Agustus 2023 tahun ini, menjadi peringatan ke-18 tahun perjanjian Helsinki yang berisi soal perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Setelah perjanjian itu awal kehidupan di Serambi Mekah menjadi tenang dan aman tanpa terdengar letusan senjata api dan Sweeping aparat pemerintah.
Sebuah rahmat besar dirasakan semua pihak pasca musibah besar tsunami Aceh Desember 2004. Pada 1976, Aceh sempat bergejolak karena GAM ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Namun, pemerintah menolaknya, mereka bahkan sempat mengerahkan militer guna meredam keinginan itu. Berbagai tindakan dilakukan pemerintah untuk meredam Gerakan bersenjata Aceh termasuk sejumlah perundingan yang acap kali kandas dan gagal.
Keinginan besar pemerintah yang didukung oleh dunia internasional akhirnya Aceh bisa damai dengan perjanjian yang dinamakan MoU Helsinki yakni nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki, finlandia pada 15 Agustus 2005.
Saiful salah seorang warga Aceh,mantan prajurit GAM menuturkan sekilas pengalaman saat dirinya bergabung dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka pada tahun1999 lalu. Wartawan mediaaceh.co.id menemui Saiful di rumahnya di kawasan Meureudu yang sedang istirahat di pondok samping rumah setelah lelah membersihkan rumput di kebun cabe miliknya. Angin sepoi pinggir sawah dengan suguhan kopi dan sedikit gorengan cerita masa lalu pun dicoba kenang kembali.
“Alhamdulillah Aceh sudah damai dan kita bisa merasakan kehidupan yang normal serta berkumpul dengan keluarga,“ Saiful membuka pembicaraannya.
Dia mengisahkan mengapa bisa masuk dalam Gerakan Aceh Merdeka, dimana kondisi waktu itu di kampong (Geumpang, Pidie) dukungan warga begitu besar untuk keinginan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Dia merasa malu bila tidak bergabung dengan GAM, dimana para wanita saja sudah mau ikut memegang senjata melalui pasukan Inong Balee.
Ditambah lagi eforia keinginan Referendum yang digagas oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (Sira) pada tahun 1999, makin menguatkan semangat Saiful Bahri untuk bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka .
Setelah direkrut menjadi prajurit Saiful dan 5 orang lainnya dari berasal satu kampong di
Geumpang Pidie menjalani latihan di Blang Rabo yang juga berada di kawasan Geumpang Pidie . “Kami dilatih seperti layaknya latihan militer selama 2 bulan oleh tentara eks Libya dan bahasa instruksi juga dengan bahasa Libya, waktu itu usia saya baru 19 tahun,” Katanya.
Ketika saya menanyakan, apakah masih mengingat sejumlah instruksi saat latihan waktu itu?. ”Ada beberapa masih saya ingat, seperti hadap kanan Alimin dor, hadap kiri Alisan dor, kemudian Atatan Sir maju jalan dan sariak kif, berhenti grak,“ ungkap Saiful.
Dia mengaku tidak pernah melakukan penculikan terhadap warga sipil dan aparat TNI ,Polri serta pembakaran sejumlah fasilitas negara. Berbagai nama samaran disandangnya mulai dari Kobra, Abu Muda dan terakhir dia dikenal dengan nama Abu Nek. Abu Nek muda ini bergerak bergerilya dalam hutan hingga tahun 2003 .
Dia mengatakan kondisi makin hari makin sulit dimana pasukan TNI dan Polri makin besar sehingga pergerakan Abu Nek dan teman teman makin sempit dan sulit . Akhirnya di tahun 2003 dia memutuskan untuk keluar dari Aceh dan ingin mendapatkan suaka politik dari Luar negeri. Perjuangan bukan hanya di dalam Nanggroe saja pikirnya.
Keinginan untuk hijrah dari Aceh makin bulat dan langkah pun tertuju ke Banda Aceh meski dengan penuh perjuangan mengingat sang Abu Nek tidak memiliki KTP Merah Putih ( KTP yang diwajibkan saat darurat militer di Aceh).
Memberanikan diri menumpang angkutan umum dengan tujuan Medan, namun naas dihadang oleh pasukan TNI yang melakukan sweeping di Lampisang Aceh Besar. “Saya merasa inilah akhir dari perjalanan saya, namun ada kesempatan buat saya untuk kabur, mengingat banyak kendaraan yang berhenti menunggu giliran,” kisah Saiful.
Langkah seribu menelusuri areal persawahan warga dan langsung merambah ke Hutan kawasan Jantho. Cerita sangat pahit pun terjadi selama hampir 15 hari merambah hutan Jantho dalam pelarian .
“Deuk dan Luka tapak aki (Lapar dan luka tapak kaki) dalam uteun Tuhan (hutan Tuhan),‘’ ungkap Saiful.
Pelarian berakhir di gampong Bung Jantho sebuah kampong dekat Jalin dimana sebelum di tangkap oleh aparat TNI dia sempat ditolong warga setempat yang memberikannya makan dan berteduh semalam di pondok warga.
Singkatnya Saiful alias Abu Nek diamankan oleh pihak TNI dan diproses dengan lokasi yang berbeda sampai terakhir dibina di Gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Aceh yang terletak di Ladong Aceh Besar bersama ratusan Eks GAM lainnya.
Setelah dibina dan dianggap sadar atas tindakan selama ini salah serta membuat pengakuan untuk setia pada
Ibu Pertiwi, Saiful pun termasuk yang dibebaskan dan bisa kembali ke masyarakat seperti biasanya.
Pasca tsunami melanda Aceh, pada Mei 2005 Saiful mengayunkan langkah Hijrah ke sumatera Selatan dan mencoba hidup baru di sana. “Allah memberikan kesempatan untuk berubah,bila kita ingin merubahnya,“ kenang Saiful.
Sepuluh tahun di Sumatera Selatan dan mempersunting gadis setempat diapun kembali ke Aceh untuk berbakti dengan sang ibunda yang makin tua . Hela nafas panjang Saiful sambal berucap “Alhamdulillah Aceh kini Aman dan semoga kondisi ini makin aman sehingga potensi Aceh menjadi daerah yang maju makin terbuka lebar,“
Pembicaraan kami terputus saat kumandang Azan mengisyaratkan Ashar telah tiba. Kamipun melangkah ke Mesjid sebagai wujud kewajiban dan syukur atas nikmat Allah yang masih kita rasakan. [Maimun Umar].