Oleh: Alizamzami
TAHUN anggaran 2024 meninggalkan catatan kelam bagi tata kelola keuangan di Kabupaten Aceh Selatan.
Dari total target anggaran Rp.1,602 triliun, yang terealisasi hanya Rp1,366 triliun. Selisih Rp.236 miliar bukan sekadar sisa anggaran, melainkan simbol nyata dari sistem yang gagal menyentuh kebutuhan publik.
Dan yang paling layak disorot adalah para teknokrat di balik anggaran yaitu TAPD dan BPKD. Keduanya kelembagaan ini diibaratkan sebagai mesin penggerak yang macet.
TAPD dan BPKD bukan lembaga administratif biasa. Mereka adalah jantung dari seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran.
TAPD menyusun arah belanja, sedangkan BPKD memastikan uang itu mengalir dan digunakan untuk sektor prioritas.
Ketika keduanya gagal menjalankan tugas, maka implikasinya sangat serius, dari pembangunan yang tertunda, pelayanan publik yang terganggu, hingga hilangnya kepercayaan publik.
Pertanyaannya, mengapa anggaran bisa tidak terserap dalam jumlah sebesar itu?
Jawabannya, terletak pada dua kemungkinan besar.
Pertama, perencanaan anggaran yang tidak realistis, asumsi pendapatan terlalu optimis, target belanja tidak disusun berdasarkan kapasitas real.
Kedua, pelaksanaan program yang buruk, keterlambatan tender, buruknya koordinasi antar OPD, atau lemahnya fungsi pengawasan dan kendali.
Kedua penyebab itu, terjadi dalam ruang lingkup yang sepenuhnya berada di bawah kendali kepala daerah, yaitu Pj Bupati yang dijabat Cut Syazalisma.
Gagal Menunjukkan Kepemimpinan Anggaran
TAPD diketuai oleh Sekda dan BPKD bertugas melapor ke Sekda dan Pj Bupati. Artinya, tidak ada satu pun keputusan strategis anggaran yang lepas dari radar kepala daerah.
Maka, ketika realisasi rendah, PAD stagnan, dan belanja modal minim, publik berhak menilai bahwa, Pj Bupati gagal mengarahkan dan mengawasi kinerja tim anggarannya.
Seharusnya, kepala daerah
aktif mendorong percepatan belanja program prioritas dan menjadi motor penggerak dalam koordinasi lintas-OPD.
Seharusnya pula, dapat menerapkan sistem monitoring yang real-time agar serapan tidak menumpuk di akhir tahun.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya di mana uang rakyat mengendap, dan publik tak diberi penjelasan.
PAD Jeblok
Simbol kemandekan fiskal
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetap rendah. Tidak ada inovasi pendapatan. Tidak ada upaya serius menggali potensi. Bahkan sinyal-sinyal digitalisasi dan modernisasi pengelolaan PAD tidak terdengar.
BPKD seolah hanya menjadi kasir pasif, bukan institusi strategis pengelola sumber daya daerah.
Jika pemerintah daerah tidak mampu meningkatkan PAD, maka daerah ini akan terus menjadi penonton dalam panggung otonomi.
Lalu, apa gunanya otonomi jika segala pendapatan masih mengandalkan pusat?
Belanja Modal Lemah
Belanja modal adalah tolok ukur pembangunan: jalan, jembatan, fasilitas publik, sekolah, pasar.
Ketika belanja modal seret, pembangunan macet.
Maka jelas, uang ada, rakyat butuh, tapi pemerintah daerah gagal menyalurkannya.
Ini bukan lagi soal prosedur. Ini soal tanggung jawab moral dan politik kepala daerah.
Dalam kaitan persoalan keuangan itu, idealnya, daerah harus melakukan evaluasi menyeluruh.
Karena kondisi ini menuntut keberanian dari berbagai pihak. DPRK harus segera memanggil TAPD dan BPKD untuk evaluasi terbuka.
Demikian pula, Inspektorat harus melakukan audit kinerja secara menyeluruh.
Kepemimpinan anggaran bukan sekadar mengisi jabatan. Ia adalah mandat untuk menjamin hak rakyat terpenuhi, uang rakyat digunakan, dan pembangunan benar-benar terasa.
Jika anggaran gagal dikelola, maka kita sedang menyaksikan bukan hanya kegagalan birokrasi, tapi kegagalan komando.
Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Anggaran daterah.