ACEH | MA — Di Aceh, tanah yang pernah dihantam sejarah dan gelombang perlawanan, lahirlah lelaki yang memilih jalan sunyi: setia pada nilai, bukan ambisi; bersetia pada rakyat, bukan pada kursi. Namanya Salihin—bukan nama yang sering terdengar di meja kekuasaan, bukan pula wajah yang muncul dalam spanduk besar dan sorot media. Ia hanya anak kampung, yang sejak kecil percaya bahwa hidup bukan soal menjadi besar, tetapi soal tetap teguh ketika diberi amanah.
Akar yang Membumi
Salihin lahir dari keluarga sederhana di pedalaman Aceh. Dari kecil ia belajar bahwa kesuksesan bukan datang dari kemewahan, tapi dari keringat yang jatuh ke tanah. Ia sekolah tanpa baju seragam yang mewah, mengaji dengan suara bergetar karena takut salah sebut huruf, dan membantu orang tua di ladang, menanam harapan di balik debu dan lumpur.
“Ayah saya hanya petani, ibu saya juga,” ucapnya suatu kali, pelan. “Kami tidak punya banyak. Tapi kami punya nilai. Itu cukup.”
Nilai-nilai itu yang mengakar kuat dalam dirinya. Bahwa jabatan tak pernah lebih tinggi dari ridha orang tua. Bahwa tak ada alasan untuk sombong, bahkan saat nama mulai disebut-sebut di ruang dewan.

Brigadir Tanpa Cela
Bergabung dengan kepolisian adalah mimpi banyak anak muda. Bagi Salihin, seragam cokelat itu bukan lambang kuasa, tapi bentuk ikhtiar menjaga ketertiban. Ia ditempatkan di satuan reskrim, sebuah dunia yang kerap bersinggungan dengan perkara hitam-putih, kadang juga abu-abu.
Namun Salihin menolak abu-abu itu. Selama 12 tahun 3 bulan bertugas, tak satu pun catatan pelanggaran melekat di namanya. Rekan-rekannya menyebutnya “brigadir bersih”, masyarakat mengenalnya sebagai polisi yang bisa diajak bicara. “Kalau ada masalah, kami lebih tenang kalau yang datang Pak Salihin,” kata seorang warga, mengingat masa lalu itu.
Tapi ada gelisah yang tumbuh perlahan. Ia merasa tak cukup hanya menegakkan hukum. Ia ingin mengubah sistem, bukan sekadar mengobati gejalanya. Maka pada usia 31 tahun, ia mengundurkan diri. Tanpa tuntutan pensiun, tanpa pamit panjang, hanya satu kalimat pada komandannya: “Saya ingin lebih dekat dengan rakyat.”
Dari Ladang ke Parlemen
Salihin terjun ke politik bukan karena diajak, apalagi didorong. Ia datang sendiri, dengan sepi, dan keyakinan. Modalnya hanya relasi sosial yang ia bangun sejak muda—silaturahmi yang dijaga, janji-janji kecil yang selalu ditepati, dan doa orang tua yang tak pernah putus.
Ia maju lewat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Pemilu 2019. Tak banyak yang percaya. Tapi hasilnya mencengangkan: ia meraih suara terbanyak di Dapil IV. Rakyat mengenalnya bukan karena baliho atau jargon kampanye, tapi karena mereka pernah menumpang di motornya, dibantu di kantor polisi, atau dipeluk saat kehilangan.
Lima tahun berselang, ia maju lagi. Dan kembali, rakyat memberinya kepercayaan penuh. “Saya tidak janji-janji banyak,” katanya. “Tapi saya kerja. Rakyat tahu itu.”
Kini ia menjabat Wakil Ketua III DPRA, membidangi urusan kesejahteraan rakyat: pendidikan, kesehatan, dan sosial. Sebuah posisi yang pas, karena sejak dulu, itulah bidang yang paling dekat di hatinya.
Membuktikan, Bukan Menjanjikan
Banyak politisi pandai bicara, tapi sedikit yang pandai bekerja. Salihin memilih jalan yang kedua. Ia tidak banyak tampil di media, tapi namanya sering disebut oleh keluarga pasien miskin yang dibantunya di RSUZA.
Ia terlibat langsung dalam memperjuangkan birokrasi kesehatan yang manusiawi. Ia juga menyediakan rumah singgah untuk pasien dari wilayah tengah Aceh, agar mereka tak perlu tidur di emperan rumah sakit saat menunggu kesembuhan.
“Saya tahu rasanya tidak punya uang untuk berobat,” ujarnya. “Saya tidak mau rakyat saya mengalami itu sendiri.”
Ia juga mendorong pembangunan rumah sakit regional agar akses kesehatan tidak terpusat di Banda Aceh. Baginya, keadilan bukan hanya soal hukum, tapi juga soal jarak dan jangkauan pelayanan.
Sekolah dan Harapan
Salihin percaya bahwa perubahan paling nyata terjadi di sekolah, bukan di ruang rapat. Maka ia memperjuangkan alokasi anggaran pendidikan, bukan hanya untuk sekolah umum, tapi juga pesantren dan dayah.
“Setelah bom atom dijatuhkan, Kaisar Jepang hanya tanya: berapa guru yang tersisa?” katanya, suatu hari. “Karena mereka tahu, bangsa bisa bangkit jika gurunya masih ada.”
Ia meyakini, investasi terbesar bukan pada infrastruktur fisik, tapi pada kepala dan hati manusia. Itulah sebabnya ia tak lelah mengunjungi sekolah-sekolah kecil, mengirim buku, membangun fasilitas, dan memastikan tak ada anak Aceh yang putus sekolah hanya karena miskin.
Pemimpin yang Turun ke Tanah
Jabatan tak pernah mengubah Salihin. Rumahnya masih sederhana, kebunnya masih luas, dan tangannya masih kotor oleh tanah. Ia menanam kopi, aren, durian, palawija—bukan untuk bisnis, tapi untuk jiwa.
“Di kebun, saya belajar sabar,” ujarnya. “Kita menanam, lalu pasrah. Seperti juga hidup ini.”
Ia tak segan menerima tamu dari kalangan mana pun, entah itu pejabat, petani, atau mahasiswa. Pintu rumahnya terbuka, meja makannya tak pernah kosong dari nasi dan air putih. Ia bukan tipe pejabat yang dijaga ajudan dan dijauhkan pagar. Ia berjalan di pasar seperti biasa, menyapa warga seperti dulu, tak berjarak.
Menjaga Kepercayaan, Menolak Gengsi
Sebagai Wakil Ketua DPW PKB Aceh, Salihin menjadi figur penting di partainya. Tapi ia tak larut dalam dinamika politik internal. Ia memilih menjadi jembatan, bukan jurang. “Kita boleh berbeda strategi, tapi jangan berbeda niat. Kalau niatnya untuk rakyat, kita pasti satu jalan,” ucapnya.
Ia juga dikenal tak suka pencitraan. Bahkan, untuk kebutuhan media partai sekalipun, ia sering menolak jika tak berkaitan langsung dengan substansi kerja. “Kalau kerja kita bermanfaat, orang akan tahu. Kalau tidak, kamera pun tak bisa menolong,” katanya.
Harapan yang Ditanam, Keyakinan yang Tumbuh
Hari ini, Salihin adalah simbol bahwa politik masih bisa dijalani dengan hati. Bahwa kekuasaan bisa didekati, bukan ditakuti. Bahwa jabatan bisa dijadikan alat merendahkan diri, bukan meninggikan nama.
“Harapan saya cuma satu,” katanya dengan tenang. “Rakyat kita bisa hidup makmur dan sejahtera. Pendidikan harus terjangkau. Kesehatan harus merata. Karena di situlah awal dari segala kemajuan.”
Ia lalu menatap jauh ke jendela, ke arah kebun yang hijau dan subur. Di sanalah, barangkali, cita-cita itu mulai ditanam—bersama biji kopi dan harapan rakyat yang tak pernah ia biarkan layu. (R)