“Meneladani Rasul bukan soal serban dan jubah, tapi bagaimana kejujuran dan kasih sayang itu hidup dalam tindakan.”
[Kolonel Inf Ali Imran, Danrem 011/Lilawangsa].
- Meneladani Akhlak di Tengah Zaman yang Berlari
TAMPAK MATAHARI mulai condong ke barat. Cahaya jingga menembus kaca jendela besar Masjid Agung Islamic Center Lhokseumawe, menimbulkan pantulan keemasan di lantai marmer putih. Seolah langit sedang menulis ayat-ayat keheningan di atas setiap kepala yang menunduk.
Di halaman masjid, barisan sandal dan sepatu berjejer rapi. Anak-anak berpakaian putih berjalan beriring, sementara ibu-ibu dengan gamis dan selendang berwarna pastel menatap menara tinggi yang memantulkan cahaya senja.
Udara sore itu hangat, tapi tidak gerah [ada kesejukan yang datang bersama irama zikir dan lantunan selawat yang mengalun lembut dari pengeras suara].
Di tengah saf pertama, Kolonel Inf Ali Imran, Komandan Korem 011/Lilawangsa, duduk berdampingan dengan sang istri, Ny. Dini Imran, Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Koorcab Rem 011 PD Iskandar Muda.
Di wajah keduanya tergambar ketenangan yang jarang terlihat dalam rutinitas militer yang keras.
Hari itu, mereka tak sedang memimpin pasukan, tapi sedang memimpin diri; untuk kembali meneladani akhlak Rasulullah.
Di Bawah Kubah yang Meneduhkan
Masjid Agung Lhokseumawe, yang berdiri megah di Desa Simpang Empat, hari itu seolah menjadi samudra keheningan.
Suara pengeras masjid menggema lembut, menyebut nama Nabi Muhammad SAW dalam setiap bait pujian. Di depan jamaah, spanduk besar membentang:
“Meneladani Akhlak Mulia dan Kepemimpinan Rasulullah SAW, Mewujudkan Kehidupan Masyarakat Kota Lhokseumawe yang Bersyariat [Rakyat Ceudah Lhokseumawe Meugah].”
Tema itu bukan sekadar kalimat seremonial. Ia seperti doa yang diucapkan di antara hiruk-pikuk zaman; ketika manusia kerap kehilangan arah di tengah kemajuan yang menggilas nilai-nilai.
Wali Kota Sayuti Abubakar hadir bersama Wakil Wali Kota Husaini, disusul jajaran Forkopimda, Danlanal Lhokseumawe, Dandim 0103/Aceh Utara, para tokoh ulama, dan ratusan warga.
Di sudut masjid, sejumlah anak yatim duduk berbaris, wajah mereka penuh harap, menanti giliran menerima santunan.
Di mata anak-anak itu, barangkali terpantul cahaya kasih yang pernah diajarkan Rasul: bahwa menebar kebaikan tak perlu menunggu kaya.
Ceramah yang Menyentuh Zaman
Ketika Tgk. H. Faisal Hadi berdiri di mimbar, suasana berubah menjadi hening. Suaranya pelan, tapi mengandung kekuatan yang tak bisa disembunyikan.
“Jangan membenarkan yang biasa, tapi biasakanlah yang benar.”
[Tgk. H. Faisal Hadi].
Ia tak bicara dengan kemarahan, tapi dengan kebijaksanaan seorang guru yang sudah lama memahami hati umatnya.
“Kita hidup di zaman yang serba cepat,” ujarnya. “Teknologi sudah menjadi bagian dari hidup kita. Tapi, jangan sampai teknologi yang kita ciptakan justru menjerumuskan. Gunakan untuk dakwah, untuk kebaikan. Jangan membenarkan yang biasa, tapi biasakanlah yang benar.”
Kata-katanya menembus ke hati banyak orang. Beberapa jamaah terdiam, ada yang mengusap mata. Kalimat itu terdengar seperti teguran halus bagi umat yang mulai lupa pada akar nilai.
Dalam gempuran media sosial, kebohongan sering tampak lebih indah dari kebenaran; dan kejujuran sering tampak terlalu sunyi untuk diikuti.
Danrem dan Cermin Kepemimpinan Rasul
Bagi seorang perwira militer seperti Kolonel Inf Ali Imran, Maulid bukan hanya ritual tahunan. Ia adalah momen untuk berkaca [tentang makna kepemimpinan dan tanggung jawab]. Setelah acara, ia berbicara dengan nada yang tenang tapi dalam.
“Peringatan ini bukan sekadar seremonial,” katanya, menatap jamaah yang mulai bubar perlahan.
“Ini momentum refleksi bagi kita semua; bagaimana sifat Rasulullah seperti kesabaran, kejujuran, kasih sayang, dan keadilan itu kita hidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi bagi kami yang diberi amanah memimpin, akhlak adalah kompas.”
Kata “kompas” itu seperti menancap dalam. Sebab di dunia yang kerap kehilangan arah, pemimpin tanpa akhlak adalah kapal tanpa haluan.
Ketika Zikir Menjadi Cermin
Menjelang senja, lantunan zikir bergema. Tim Zikir Kota Lhokseumawe memimpin doa bersama.
Suara “La ilaha illallah” mengalun panjang, berulang-ulang, seperti gelombang laut yang datang silih berganti.
Di antara kerumunan, seorang ibu menggenggam tangan anaknya erat-erat. Di pipinya mengalir air mata, entah karena rindu pada Rasul, atau karena merasa begitu kecil di hadapan kasih Tuhan.
Sementara itu, anak-anak yatim menerima bingkisan dari panitia. Senyum mereka menembus dinginnya marmer masjid [senyum yang sederhana tapi menyembuhkan].
Malam itu, kebahagiaan tak datang dari harta, tapi dari ketulusan memberi. Seperti sabda Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Malam menjelang. Masjid Agung Islamic Center berdiri dalam siluet indah, menara-menara menjulang seperti pena langit yang sedang menulis pujian.
Lampu-lampu di sekelilingnya menyala lembut, menimbulkan pantulan cahaya di permukaan air kolam depan.
Dari kejauhan, suara zikir masih terdengar samar; menjadi gema yang menenangkan hati siapa pun yang lewat.
Di luar pagar, angin laut membawa aroma asin, menyatu dengan harumnya dupa dari serambi.
Beberapa jamaah berjalan pulang, membawa pulang lebih dari sekadar pengalaman religius: mereka membawa ketenangan.
Ketenangan yang lahir dari ingatan bahwa di dunia yang makin cepat, manusia sesungguhnya hanya butuh satu hal: hati yang meneladani kasih dan akhlak Rasulullah.
Dan di bawah kubah Masjid Agung itu, malam Lhokseumawe seperti bersaksi, bahwa cahaya Nabi tidak pernah padam [ia hanya menunggu kita untuk menyalakannya kembali, dalam diri masing-masing]. [].