Banda Aceh | AP – Jauh Sebelum Rasulullah S.A.W diutuskan Allah Swt kemuka bumi, nama Barus sudah dikenal dijazirah Arab sebagai penghasil kamper terbaik dunia yang kita kenal dengan Kapur Barus. Zat kimia berupa getah yang dihasilkan oleh pohon “Dryobalanops aromatica” yang tumbuh di wilayah Barus. Pada Era Mesir kuno para Fir’aun atau “Paraoh” menggunakan benda ini sebagai bahan utama pengawet mayat dalam proses pe-mumi-an para raja mesir kuno yang mangkat.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh keturunan raja Aceh terakhir, Tuanku Warul Waliddin bin Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah kepada wartawan di Banda Aceh, Sabtu (1/4/2017).
“Pada masa itu Barus yang masyarakatnya masih penyembah berhala aktif menjual getah kapur barus ini kepada bangsa-bangsa Arab penyembah berhala jauh sebelum tahun masehi atau sekitar 5.000 SM. Bahan ini Selain sebagai pengawet mayat juga digunakan sebagai bahan baku campuran wewangian istana para Raja bangsa Arab,” terangnya.
Kemudian pada abad ke-14, Kerajaan Barus merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Pagaruyung, bersama Tiku dan Pariaman, yang menjadi tempat keluar masuk perdagangan di Pulau Sumatera. Tahun 1524, Barus jatuh di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh. Posisi kesultanan ini kemudian menjadi vassal Aceh hingga tahun 1668. Selama pendudukan Aceh banyak penduduk Barus yang sebelumnya penyembah berhala menjadi muslim.
“Jadi mereka Muslim setelah menjadi Vassal Kesultanan Aceh. Bukan sebelum di bawah Kesultanan Aceh. Jelas keliru apa yang berlaku dengan ditetapkannya Barus sebagai Titik Nol Masuknya Islam ke Nusantara. semoga pelurusan sejarah penting ini memberikan pencerahan agar anak cucu kita dimasa depan tidak salah menelan informasi sejarah masuknya Islam di nusantara yang di geser dari Samudera Pasai ke Barus. sebagaimana catatan Ibnu Battutah, seorang petualang dari Maroko, tahun 1346, yang dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Mazhab yang digunakannya adalah Imam Syafi’i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India,” lanjutnya.
Seandainya Barus sudah Ada bukti Autentik yang Valid sebagai Titik Nol Masuknya Islam ke Nusantara maka dapat dipastikan Islam di Aceh dan Nusantara dibawa oleh Pendakwah dari Barus. Artinya Islam di Aceh masuk dari Barus bukan lagi dari Mekkah dan saudagar dari Hadramaut (Arab). Sehingga Persepsi Orang Aceh zaman dahulu yang meyakini Islam dari Ateuh (Atas) Aceh (Barat Nusantara) disebar hingga kebawah (Barus) akan berubah arah mata angin dan sejarahnya.
“Logikanya Kalau demikian halnya Barus sebagai titik Nol Masuknya Islam ke Nusantara tentunya semua Orang Batak disekitar Barus tidak ada yang Nasrani alias 100% Islam. Karena Islam lebih dahulu masuk serta mengakar disana dan Nasrani baru tiba kemudian dibawa oleh bangsa Portugis dan Holanda. selayaknya Bangsa Aceh yang 100% Islam maka kawasan Barus dan Batak demikan halnya 100% Islam,” jelasnya.
Menurutnya penegasan titik Nol ini penting dan mampu mengubah wawasan dan Sejarah Islam di Nusantara yang sudah kita yakini selama ini. Bila hal ini kita biarkan tanpa ada pelurusan ilmiah apapun bukan tidak mungkin Wilayah Tanah Aceh yang dahulu Barus termasuk didalamnya bisa terbalik menjadi Aceh bagian dari Kerajaan Barus pasca Islam Masuk pertama sekali ke Barus,” pungkasnya.