Tradisi “Makmeugang”, Warisan Budaya Aceh yang Terjaga Sejak Abad ke-17

TAPAKTUAN | MA Masyarakat Aceh baru saja melewati perayaan tradisi “Makmeugang” (punggahan). Budaya itu, berlangsung, dua hari sebelum pelaksanaan puasa pertama.

Sedangkan, satu hari sebelum memasuki 1 Ramadhan, masyarakat di Aceh umumnya membiasakan diri mandi-mandi di sungai dengan maksud agar benar-benar suci sebelum ibadah pelaksanaan puasa.

Pada hari “makan-makan” itu, bersama anggota keluarga dan handai tolan,  biasanya  menikmati makanan daging yang telah dimasak pada hari “mak meugang”.

Bahkan, sebagian penduduk di pedalaman Aceh masih menganggap mandi-mandi tersebut sebagai “ritual” dan di salah satu daerah menyebut dengan “mandi balimau”.

Hari-hari “makan-makan”, kini berkembang menjadi kegiatan pariwisata dengan aneka ragam bentuknya.

Tradisi “mak meugang”, merupakan salah kebiasaan masyarakat Aceh yang berlangsung secara  turun-temurun dan hanya ada ketika menjelang bulan Ramadan, menyambut  Idul Fitri dan Idul Adha.

Tradisi ini menjadi momen istimewa bagi masyarakat Aceh untuk menikmati hidangan daging bersama keluarga, sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan.

BACA JUGA...  Dek Fadh Bahas Masalah Haji Dalam Pertemuan Dengan Kementerian Agama dan BP Haji

Menurut salah seorang akademisi di Aceh Selatan Hasbaini, S. Pd, M. Pd, dengan masih lestarinya “mak meugang’ di Aceh tidak hanya mempertahankan warisan budayanya, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kebersamaan, dan kepedulian sosial bersama kaum dhuafa yang telah ada sejak ratusan tahun lalu

Sejarah “mak meugang” sendiri telah berlangsung sejak masa Kesultanan Aceh pada abad ke-17.

Tradisi ini pertama kali diperkenalkan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang membagikan daging kepada rakyatnya sebagai bentuk perhatian dan kesejahteraan sosial atau bansos.

Saat itu, daging dianggap sebagai makanan mewah yang tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmatinya setiap hari.

Oleh karena itu, menjelang hari-hari besar Islam, Sultan membagikan daging secara cuma-cuma agar rakyat bisa merasakan hidangan bergizi sebelum menjalankan ibadah puasa, atau merayakan hari besar Islam di negeri Syariat Islam.

BACA JUGA...  SAPA: Tunjukkan Slogan Para Calon Pemimpin, Syariat Islam Hanya Jadi Janji Kosong 

“Hingga kini, “makmeugang” masih dilakukan oleh masyarakat Aceh dengan membeli daging secara massal, memasaknya bersama keluarga, komunitas dan bahkan membagikannya kepada mereka yang kurang mampu,”.

Menurutnya, tradisi ini juga menjadi ajang berkumpulnya keluarga, mempererat tali silaturahmi, dan menunjukkan nilai kepedulian sosial yang tinggi dalam budaya Aceh.

Di pasar-pasar tradisional Aceh, kemeriahan perayaan “mak meugang” selalu diwarnai dengan meningkatnya aktivitas jual beli daging sapi dan kerbau.

Harga daging pun biasanya mengalami kenaikan, mengingat tingginya permintaan dari masyarakat. Meski demikian, semangat berbagi dan merayakan tradisi ini tetap kuat di tengah-tengah masyarakat.

“Selain itu pada hari “mak meugang”  ini, kegiatan ekonomi meningkat, khusus para pedagang daging khusus kerbau, sapi, ayam dan ikan. Namun demikian, harga daging di Aceh Selatan tergolong mahal yaitu berkisar Rp 200 – 220 ribu rupiah per kilonya,” kata Hasbaini.

BACA JUGA...  Sambut 17 Agustus 2023 Inter Island Merah Putih Sabang Gelar Turnamen Sepak Bola

Menurut Hasbaini, mahalnya harga daging, karen disebabkan oleh konsumsi daging pada hari “mak meugang”  cukup tinggi, di tengah  ketersediaan daging yang sangat terbatas.

Dia berharap, untuk tahun-tahun mendatang, ketersediaan daging  dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat Aceh Selatan khususnya di tengah lestarinya budaya  Aceh yang ratusan tahun sudah mentradisi.(Maslow Kluet)