BANDA ACEH (MA) — Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Pusat, Muzakir Manaf atau Mualem, kembali mengingatkan masyarakat Aceh tentang pentingnya mengenang perjuangan di masa lalu.
Dalam rangka memperingati Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Rabu, 4 Desember 2024, Mualem menginstruksikan seluruh eks kombatan GAM untuk melaksanakan doa bersama, menyantuni anak yatim, serta berziarah ke makam para pejuang.
Menurut juru bicara KPA, Azhari, kegiatan ini bertujuan agar masyarakat Aceh tidak melupakan sejarah, yang hingga kini masih membekas di benak rakyat Aceh bahkan dunia internasional.
“4 Desember adalah sejarah besar yang tidak boleh dilupakan. Ini adalah bagian dari identitas Aceh yang harus dikenang melalui doa, zikir, dan ziarah,” ujar Azhari seperti dilansir dari Antara pada Selasa, 3 Desember 2024.
GAM dan Lahirnya Perlawanan Aceh Merdeka
Tepat 41 tahun yang lalu, pada 4 Desember 1976, GAM resmi dideklarasikan oleh Hasan Muhammad di Tiro di Perbukitan Halimon, Pidie.
Deklarasi tersebut menjadi awal mula perjuangan bersenjata untuk memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hasan Tiro, yang menobatkan dirinya sebagai Wali Nanggroe (kepala negara), menuding pemerintah pusat telah mengeksploitasi kekayaan alam Aceh tanpa memberikan kesejahteraan yang adil bagi rakyat Aceh.
Sebagai daerah penghasil minyak dan gas yang besar pada tahun 1970-an dan 1980-an, Aceh memberikan kontribusi sekitar 14 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Namun, hanya sekitar 1 persen dari anggaran nasional yang dialokasikan kembali untuk Aceh.
Kondisi ini memicu kekecewaan mendalam di kalangan elite lokal Aceh, terutama terhadap kepemimpinan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Menurut Harry Kawilarang dalam buku Aceh: Dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, ketidakadilan ini mendorong Hasan Tiro dan pendukungnya untuk mengambil langkah radikal.
Namun, langkah tersebut memicu respons keras dari pemerintah pusat.
Gelombang Perlawanan dan Operasi Militer
Setelah mendeklarasikan perlawanan, Hasan Tiro dan pasukannya bergerilya di hutan Aceh hingga 1979, sebelum akhirnya ia harus mengungsi ke luar negeri akibat tekanan militer Indonesia.
Gelombang perlawanan kedua muncul pada pertengahan 1980-an, dengan anggota GAM yang kembali dari pengasingan dan mendapat pelatihan militer, salah satunya di Libya.
Negara sosialis di bawah pimpinan Muammar Khadafi membantu mendanai dan mempersenjatai perjuangan GAM.
Sebagai tanggapan, pemerintah Indonesia menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989.
Kebijakan ini membawa kekerasan yang lebih besar, melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menumpas GAM.
Korban dari kalangan militer, anggota GAM, dan warga sipil berjatuhan. Estimasi korban jiwa selama operasi DOM mencapai 2.000 hingga 10.000 orang.
Eskalasi konflik ini juga menyebabkan trauma berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, terutama karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama operasi militer berlangsung.
Masa Reformasi dan Perlawanan Gelombang Ketiga
Pasca kejatuhan Soeharto pada 1998, Presiden BJ Habibie menarik pasukan militer dari Aceh. Situasi ini memberikan ruang bagi GAM untuk mengonsolidasi kekuatannya kembali.
Pada akhir 1999, GAM melancarkan perlawanan gelombang ketiga dengan menyasar pejabat pemerintah dan penduduk pendatang.
Konflik kembali memanas ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mengirim lebih banyak pasukan ke Aceh.
Operasi militer skala besar kembali dilakukan, yang berdampak pada meningkatnya jumlah korban jiwa dari kalangan warga sipil.
Namun, situasi berubah drastis setelah bencana tsunami besar pada 26 Desember 2004.
Bencana ini tidak hanya menghancurkan infrastruktur Aceh, tetapi juga melemahkan kekuatan GAM secara signifikan.
Kesepakatan Damai Helsinki
Pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM memulai perundingan damai di Vantaa, Finlandia, yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
Perundingan ini menghasilkan nota kesepahaman yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Dalam kesepakatan tersebut, GAM setuju untuk tetap berada dalam NKRI, dengan syarat pemberian otonomi khusus bagi Aceh, pembentukan partai lokal, dan amnesti bagi seluruh anggota GAM.
Proses pelucutan senjata selesai pada Desember 2005, dengan menyerahkan 840 pucuk senjata kepada Misi Monitoring Aceh (AMM).
GAM secara resmi membubarkan sayap militer mereka dan bertransformasi menjadi kekuatan politik lokal.
Mualem dan Transformasi Eks Kombatan
Di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf atau Mualem, eks kombatan GAM yang tergabung dalam KPA terus berperan aktif dalam pembangunan Aceh.
Mualem dikenal sebagai salah satu tokoh yang mendorong perdamaian dan memanfaatkan momentum damai untuk memperkuat posisi politik Aceh melalui partai lokal.
Ia juga memimpin instruksi untuk memperingati Milad GAM dengan semangat refleksi dan penghormatan kepada perjuangan masa lalu.
“Doa, zikir, dan santunan adalah bentuk penghormatan kami kepada sejarah dan perjuangan para pendahulu. Ini bukan hanya milik eks kombatan, tapi juga seluruh masyarakat Aceh,” ujar Mualem dalam salah satu pidatonya.
Warisan Helsinki: Politik Lokal Aceh
Hasil nyata dari perjanjian Helsinki adalah munculnya partai-partai lokal seperti Partai Aceh (PA), yang menjadi kendaraan politik bagi banyak eks kombatan.
Para mantan tokoh GAM kini terlibat dalam pemerintahan, menunjukkan transformasi mereka dari gerakan bersenjata menjadi pelaku demokrasi.
Kegiatan memperingati Milad GAM setiap tahun, seperti yang diinstruksikan Mualem pada 2024 ini, menjadi simbol keberlanjutan semangat perjuangan dalam bingkai damai.
Ini adalah pengingat bahwa Aceh, dengan segala dinamika sejarahnya, terus bergerak maju tanpa melupakan akar perjuangan mereka.(R)