BANDA ACEH (MA) – Pengelolaan birokrasi yang baik mencerminkan kredibilitas, transparansi, dan akuntabilitas sebuah pemerintah daerah. Namun, bila tidak sesuai aturan, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah serius. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. Usman Lamreung, M.Si, Dosen Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Besar, melalui siaran persnya pada Jumat (24/1/2025).
Menurut Usman, salah satu kasus yang mencerminkan pengelolaan birokrasi yang tidak konsisten terjadi di Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Ia menyoroti pemberhentian Sekretaris Daerah (Sekda) Sulaimi oleh Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar yang tidak sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Pj Gubernur Aceh. SK bernomor PEG.821.22/66/2024 menetapkan bahwa pemberhentian Sekda berlaku sejak 20 Desember 2024. Namun, realisasi pemberhentian baru dilakukan pada 17 Januari 2025.
“Hal ini mencerminkan kesalahan pengelolaan birokrasi. Jika Sekda Sulaimi dicopot sesuai dengan ketentuan SK tersebut, maka seluruh administrasi yang ditandatangani atas namanya setelah 20 Desember 2024 menjadi batal demi hukum. Ini berpotensi memunculkan masalah besar, terutama terkait kebijakan administratif dan pengelolaan anggaran,” jelas Usman.
Ia juga menambahkan bahwa tindakan Pj Bupati tersebut menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Semua kebijakan dan keputusan yang diambil atas nama Sekda setelah SK berlaku dapat dinyatakan tidak sah secara hukum.
Lebih jauh, Usman menyoroti dampak pemberhentian ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Besar tahun 2025. “Secara hukum administrasi, yang berwenang menandatangani Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) tahun 2025 adalah Sulaimi. Namun, pemberhentiannya yang tidak sesuai prosedur menciptakan ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Bahkan, Usman menilai bahwa pelantikan jabatan pengganti dilakukan secara mendadak di ruang kerja Pj Bupati tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal ini, menurutnya, semakin menunjukkan kejanggalan dalam sistem birokrasi dan hukum administrasi di Aceh Besar.
“Kondisi ini tidak hanya merugikan dari segi birokrasi, tetapi juga berpotensi menciptakan masalah besar dalam pengelolaan anggaran daerah,” pungkas Usman. (Sayed Panton)