Presiden RI Prabowo Subianto, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sudah menegaskan bahwa Aceh memiliki kekhususan dalam tata kelola pemerintahan.?
LANGSA | mediaaceh.co.id – Wali Kota dan Wakil Wali Kota Langsa terpilih, Jeffry Sentana – M. Haikal, hingga kini masih menunggu kejelasan pelantikan.
Seharusnya, proses ini berjalan mulus sesuai Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), bukan malah tersandera oleh kekacauan di DPRK Langsa yang kehilangan arah sejak dilantik pada 2 Oktober 2024.
Dinamika politik di DPRK Langsa justru lebih mirip panggung sandiwara. Alih-alih membahas kepentingan rakyat, mereka lebih sibuk bernegosiasi kursi kekuasaan.
Pemicunya adalah kegagalan pengesahan Tata Tertib (Tatib) DPRK Langsa, yang membuat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) tak bisa terbentuk.
Rapat paripurna pembentukan AKD yang digelar pada Senin, 24 Maret 2025 pun berakhir tanpa hasil.
Fraksi-fraksi justru terlibat perang urat saraf demi kepentingan masing-masing.
Ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi manuver politik brutal yang menghambat jalannya pemerintahan.
Dualisme Tatib dan Keserakahan Melvita Sari
Kisruh ini bermula dari pelantikan anggota DPRK Langsa periode 2024-2029. Sejak itu, parlemen ini seperti kehilangan arah.
Penyebab utamanya adalah terhambatnya pengesahan Tatib DPRK, yang seharusnya menjadi dasar kerja legislatif.
Pada 7 November 2024, Tim Perumus sebenarnya telah menyelesaikan rancangan Tatib dan menyerahkannya kepada Ketua DPRK, Melvita Sari.
Namun, alih-alih memprosesnya sesuai prosedur, Melvita justru diduga mengubah isi rancangan tersebut tanpa koordinasi dengan Tim Perumus sebelum mengirimkannya ke Pemerintah Aceh.
Akibatnya, terjadi dualisme pengajuan rancangan Tatib pada 12 November 2024: Wakil Ketua I DPRK Langsa, Burhansyah, mengirimkan rancangan Tatib hasil Tim Perumus ke Pemerintah Aceh.
Dan 13 November 2024: Ketua DPRK Langsa, Melvita Sari, mengirimkan rancangan versinya sendiri, yang diduga telah dimodifikasi sesuai kepentingan politiknya.
Kondisi ini membuat Biro Hukum Pemerintah Aceh menolak memproses fasilitasi Tatib DPRK Langsa karena ada dua dokumen berbeda dengan nomor agenda yang sama.
Tanpa Tatib yang sah, DPRK Langsa tidak bisa membentuk AKD, yang berarti fungsi legislatif lumpuh total.
Melvita Sari, yang juga adik kandung dari Wali Kota terpilih Jeffry Sentana, kini menjadi pusat perhatian.
Apakah ini murni soal prosedural, atau ada kepentingan lebih besar yang sedang dimainkan?
Langsa dalam Cengkraman Kartel Politik?
Ketua DPRK Langsa dan koalisi Langsa Juara tampaknya bermain api.
Kubu ini diduga ingin memastikan bahwa semua alat kelengkapan dewan diisi oleh orang-orang mereka sebelum meloloskan pelantikan Jeffry Sentana.
Ini bukan lagi soal politik sehat, melainkan soal kerakusan. Jika AKD belum terbentuk, maka Jeffry Sentana tidak bisa dilantik.
Dan jika pelantikan tertunda, maka Langsa tetap dalam kendali Pejabat (Pj) Wali Kota Syaridin—yang kini menjadi target tekanan dari berbagai pihak.
Syaridin sendiri berada dalam posisi sulit. Ia tak memiliki kewenangan penuh, tetapi tetap harus menjalankan roda pemerintahan.
Sementara itu, DPRK Langsa terus bermain sandiwara, seolah-olah mereka bisa memperpanjang kekacauan ini selama mungkin demi kepentingan mereka sendiri.
Yang lebih mencengangkan, APBK 2025 sudah disahkan tanpa melibatkan wali kota definitif.
Ini berarti, anggaran untuk program pembangunan sudah ditentukan oleh dewan yang belum memiliki AKD sah.
Bagaimana bisa kebijakan sepenting ini diambil tanpa kejelasan arah pemerintahan?
Di tengah carut-marut ini, muncul narasi bahwa pelantikan Wali Kota Langsa harus menunggu instruksi dari Jakarta berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 80/2024.
Padahal, sesuai UUPA, pelantikan kepala daerah di Aceh harus mengikuti aturan khusus yang berlaku di provinsi ini.
Presiden RI Prabowo Subianto, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sudah menegaskan bahwa Aceh memiliki kekhususan dalam tata kelola pemerintahan.
Dengan kata lain, pelantikan kepala daerah di Aceh tidak boleh mengikuti aturan umum yang berlaku di provinsi lain.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), dan Pemerintah Aceh sudah berada di posisi yang benar.
Mereka menegaskan bahwa pelantikan Jeffry Sentana harus dilakukan segera sesuai dengan UUPA.
Pemerintah Aceh juga menolak segala bentuk intervensi yang dapat menghambat proses demokrasi di daerah ini.
Dalil hukumnya jelas; Pasal 67 UUPA menyatakan bahwa pengangkatan dan pelantikan kepala daerah di Aceh memiliki mekanisme tersendiri.
Pasal 269 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan bahwa peraturan khusus seperti UUPA memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dibandingkan peraturan pemerintah yang bersifat umum.
Dengan dasar hukum ini, alasan DPRK Langsa untuk menunda pelantikan dengan dalih menunggu aturan dari Jakarta adalah absurd. Ini bukan soal aturan, ini soal kepentingan politik segelintir orang.
Kisruh ini hanya akan semakin memperburuk kondisi Kota Langsa. Publik sudah muak dengan sandiwara politik yang dimainkan oleh Ketua DPRK Langsa dan kubu Langsa Juara.
Jika parlemen tidak segera menyelesaikan persoalan AKD dan Tatib, maka ketua telah gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Ketika kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat, maka parlemen bukan lagi rumah rakyat, melainkan sarang kepentingan keluarga.
Langsa butuh kepemimpinan yang sah, bukan tarik-menarik kepentingan.
Jika Ketua DPRK Langsa terus bermain politik kotor, maka mereka harus bersiap menghadapi perlawanan rakyat. [Umar Hakim].