‘Makmeugang’ Dalam Undang-Undang Kerajaan Aceh

Semua data fakir miskin, anak yatim, orang lumpuh dan orang buta harus sudah diterima oleh Sultan satu bulan sebelum hari makmeugang, baik hari makmeugang menyambut puasa, maupun hari makmeugang hari raya idul Fitri dan hari makmeugang hari raya idul Adha.

Feature | Iqbal

DALAM QANUN (Perda) Meukuta Alam, Qanun Undang-Undang negara Kerajaan Aceh Darussalam itu disebutkan, sebulan sebelum datangnya hari makmeugang (hari motong), dalam menyambut bulan suci ramadhan, Sultan Aceh memerintahkan semua Uleebalang di Aceh, mendata fakir miskin, anak yatim, orang sakit (lumpuh), orang buta, dan orang tua (lansia) yang tak lagi mampu mencari nafkah.

Semua data fakir miskin, anak yatim, orang lumpuh dan orang buta harus sudah diterima oleh Sultan satu bulan sebelum hari makmeugang, baik hari makmeugang menyambut puasa, maupun hari makmeugang hari raya idul Fitri dan hari makmeugang hari raya idul Adha.

Atas perintah Sultan, para Uleebalang memerintah semua mukim yang ada dalam wilayah kuasanya, untuk memerintahkan semua Keuchik dalam wilayah kemukimannya, agar semua Kechik itu dapat mendata semua fakir miskin, orang lumpuh, orang buta, dan orang tua yang tak dapat mencari nafkah lagi dalam kampungnya masing-masing.

Setelah, Keuchik mendata semuanya, Keuchik mengirimkan datanya kepada Mukim, lalu Mukim mengirimkan data itu kepada Uleebalang.

BACA JUGA...  Menyambut Hari Raya Idul Fitri PT. IRJ Serahkan Bantuan 

Setelah Uleebalang memperoleh semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia. Lalu Uleebalang baru mengirimkan semua jumlah itu kepada Sultan yang memerintah di kerajaan Aceh.

Sultan Aceh menerima semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia dari Uleebalang seluruh Aceh.

Sultan Aceh-pun memerintahkan kepala Tandi Siasah (kepala gudang harta kerajaan) untuk mengeluarkan bantuan kerajaan kepada seluruh fakir miskin, anak yatim dan orang sakti, serta orang buta dan lansia berdasarkan jumlah yang diterima Sultan dari masing-masing Uleebalang di seluruh Aceh.

Dalam Qanun Meukuta Alam disebutkan, masing-masing fakir miskin, orang sakit, orang buta dan lansia, mendapat anugerah Sultan untuk menyambut hari makmeugang dan memasuki bulan suci ramadhan, 5 hasta kain, dan sejumlah uang untuk daging makmeugang, dan biaya selama bulan puasa.

Semua anugerah Sultan Aceh kepada fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia dikirim melalui Uleebalang masing-masing. Uleebalang menyerahkan kepada Mukim. Mukim menyerahkan kepada Keuchik. Lalu Keuchik baru membagikan anugerah Sultan itu kepada fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia yang ada dlm kampungnya nasing-masing.

Qanun Meukuta Alam juga menyebutkan, bila bantuan anugerah Sultan Aceh itu tidak sampai kepada penerima bedasarkan jumlah data yang diretima Sultan, maka Uleebalang yang bertanggung jawab dalam wilayah yang tidak sampai anugerah Sultan itu, Uleebalang tersebut langsung dipecat oleh Sultan Aceh.

BACA JUGA...  Empat Ribu Fakir Miskin Dapat Saluran Zakat di Pijay

Jadi, persoalan hari Makmeugang di Aceh, bukan persoalan main-main. Kerajaan Aceh dulu memasukkan pelaksanaan makmeugang ini dalam undang-undang kerajaan Aceh sebagai konstitusi kerajaan Aceh.

Itu artinya, negara kerajaan Aceh ketika itu bertanggung jawab sepenuhnya, bahwa tidak boleh ada masyarakat Aceh di hari makmeugang itu yang tidak bisa menikmati daging, baik dalam menyambut bulan suci ramadhan, maupun menyambut hari raya idul Fitri dan idul Adha.

Itu bentuk makmeugang di masa kesultanan Aceh. Setelah Aceh tidak lagi dalam pemerintahan Sultan, tradisi makmeugang ini terus berlangsung dalam masyarakat Aceh.

Kalau masa kerajaan Aceh makmeugang untuk fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia ditanggung oleh kerajaan. Maka, setelah kerajaan Aceh sdh tidak ada. Setelah itu masyarakat Aceh bersolidaritas sendiri membatu fakir miskin dan anak yatim pada hari makmeugang.

Kalau dlm sebuah kampung ada orang kaya. Maka orang kaya tersebut akan menanggung lebih dulu untuk menyembelih dua atau tiga ekor kerbau atau sapi, dagingnya akan dibagikan pada masyarakat yang kurang mampu pada hari makmeugang.

Kemudian masyarakat kampung akan membayar harga daging makmeugang itu, setelah panen tahun depan (bayeue lheuh keumuekoh thon ukeue). Sehingga, orang kampung yang kurang mampu membeli daging pada hari meugang tidak berpikiran lagi.

BACA JUGA...  Anang Iskandar: Hakim yang Ditangkap BNN Wajib Menjalani Rehabilitasi Bukan Dipenjara

Karena, untuk kebutuhan daging makmeugang audah ditanggung sementara, oleh orang kaya dalam kampung itu yang daging itu bisa dibayar setelah panen tahun depan. Dan ini sangat terbantu fakir miskin di kampung-kampung di Aceh dahulu.

Kemudian, dahulu seorang Keuchik belum bisa tidur pada malam makmuegang, kalau masih ada warga kampungnya yang hana mupat sie lom singeh uroe makmuegang (Belum nampak ada daging hari motong besok). Biasanya, Keucik mendatangi keluarga miskin dalam kampungnya, menanyakan apa sudah ada daging untuk hari makmeugang besok.

Kalau ada diantara warga kampung yang kurang mampu untuk membeli daging makmeugang, maka Keuchik akan menanggung daging makmeugang untuk keluarga miskin itu. Begitulah peran Keuchik dalam sebuah Gampong di Aceh dulunya. Begitulah istimewanya hari makmeugang bagi orang Aceh. (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Malu Achh..  silakan izin yang punya webs...