JAYAPURA|AP-…bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Begitu amanah UUD 45. Tapi di Papua yang kaya raya, rakyatnya hidup jauh dari kata sejahtera.
Di tengah goyahnya perekonomian global, pertumbuhan negeri ini digadang-gadang masih bisa bermain di level 5,1%. Kalau melihat angka itu, mestinya, rakyat di negeri ini sudah hidup lumayan makmur.
Sayang, kemakmuran itu tidak terdistribusikan dengan merata. Jumlah fakir miskin masih dalam bilangan juta, begitu pun angka pengangguran.
Makanya, tidak aneh bila ada ribuan orang rela meninggalkan sanak keluarganya demi berburu emas. Kendati di tempat yang begitu jauh, Pulau Buru, Gunung Pongkor dan tempat lainnya. Mereka membawa mimpi yang sama, kaya berkat mendulang si kuning. Sementara, di timur Indonesia sana, tepatnya di tanah Papua, bangsa asing begitu leluasa mengeruk kekayaan negeri ini.
Siapa tak kenal Freeport-Mc Moran Copper & Gold Inc, yang berbasis di Amerika Serikat? Ini merupakan perusahaan tambang terbesar di dunia dengan keuntungan mencapai miliaran dolar AS. Freeport dengan kekuatannya, begitu bebas mengeruk emas di Grasberg, Mimika, Timika yang disinyalir merupakan titik di mana terdapat cadangan emas terbesar di dunia.
Ketika Kontrak Karya (KK) II dibuat, 6 tahun sebelum KK I berakhir (1991), bargaining Indonesia sangat lemah. Hampir tidak ada pengawasan pemerintah terhadap produksi tambang ini, karena hanya 29% yang diolah di dalam negeri, sementara 71% langsung dibawa ke luar negeri, diluar pengawasan pemerintah.
Bahkan periode sebelumnya, 100% dibawa ke luar negeri. Sehingga pemerintah benar-benar tidak mengetahui berapa banyak emas yang dihasilkan Freeport.
Pemerintah juga seakan-akan nggak ngeh kalau emas yang dihasilkan Freeport berasal dari pertambangan tembaga yang dikategorikan sebagai ‘by product’ atau sampingan belaka. Dan, itu terjadi selama 28 tahun sejak mereka menggali di tahun 1967.
Tentu saja, itu berpengaruh pada bagi hasil yang sudah timpang itu. Baru pada tahun 1995, Freeport mengakui emas sebagai galian utama tambang mereka.
Sudah jadi rahasia umum, KK di zaman pemerintah masa lalu serba korup. Prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat diabaikan.
Itu sebabnya, sejak awal kehadirannya di Mimika, Freeport telah memicu beragam konflik, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro).
Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Dan di tahun 2041, barulah Freeport kembali menjadi “milik” NKRI. Itupun kalau mereka sudah ‘ogah’ mengeruk tanah Papua lantaran emas sudah terkuras habis.
Ironisnya, negara tidak memiliki kontrol sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan dan hanya berharap pada royalti yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.
Lalu siapa yang mendapat keuntungan lebih besar dari semua itu? Tentu saja yang mendapat “kue raksasa” ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Simak saja laporan kantor berita Reuters tahun 2006. Konon, keberadaan Freeport di Indonesia menjadikan empat big bos PT Freeport Indonesia (saat itu) paling tidak menerima Rp 126,3 miliar per bulan. Misalnya, Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekira Rp 87,5 miliar lebih per bulan dan President Director Freeport Indonesia, Andrianto Machribie menerima Rp 15,1 miliar per bulan.
Sementara Freeport Indonesia sendiri mendapat sepuluh kali lipat dari jumlah bagian dividen yang diterima pemerintah RI. Jika sebagai pemegang saham 9,36% saja pemerintah mendapatkan dividen Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai induk dari Freeport Indonesia (pemegang 90,64% saham Freeport Indonesia) mendapat dividen lebih kurang Rp 20 triliun di tahun 2009. Kalau sekarang? Angkanya bisa jadi lebih besar.
Lalu apa yang diperoleh masyarakat Papua? Tetap saja kilau emas tidak menjadikan Papua berkilau. Keberadaan Freport tidak membawa berkah bagi masyarakat Papua. Justri sebaliknya banyak mendatangkan petaka. Penguasaan tanah adat masyarakat Papua terancam. Itu lantaran dalam satu klausul KK disebutkan, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK-nya. Padahal ketentuan itu bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.
Belum lagi persoalan limbah Freeport telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah Estuari tercemar, 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun, dan 133 km2 lahan subur terkubur. Hutan hujan tropis (21 km2) rusak dan daerah yang semula kering menjadi rawa.
Makanya, sudah pantas rasanya kalau kontrak karya Freeport ditinjau kembali. Biar kilau emas dinikmati anak-anak Papua, bukan orang lain. (http://indonesianreview.com/satrio/emas-di-papua-milik-siapa)