Harapannya, kegiatan PON ke XXI Aceh – Sumut tahun 2024 ini tidak dicederai oleh praktik kotor para ‘punggawa’ untuk mengumpulkan pundi-pundi cuan ilegal demi kepentingan pribadi dan mencoreng nama Aceh di pentas pagelaran PON dimaksud.
BANDA ACEH | mediaaceh.co.id – Belum lagi, dilakukan pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XXI Aceh – Sumut tahun 2024, menggelontor dugaan Dinas Kesehatan (Dinkes) provinsi Aceh melakukan upaya monopoli dan pengalihan anggaran pengadaan barang dan jasa (Barjas).
‘Practice outside the law’ dugaan mark up dilakukan Kepala Dinas Kesehatan (Kadiskes) Aceh dalam kegiatan pendukung PON ke XXI Aceh – Sumut.
‘Cuitan’ anggarannya sangat menyengat dan signifikan. Pengendalian kegiatan pekerjaannya dilakukan melalui kaki tangan kepercayaan Kadis berinisial ‘AL’.
‘Preseden’ bagi pelaksanaan PON ke XXI Aceh – Sumut dan berakibat tidak terpenuhinya kebutuhan perlengkapan tim medis secara optimal.
Benarkah begitu?, mari kita telusuri praktik ‘kotor’ tersebut agar terkuak dan menjadi terang benderang, mendorong pihak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut dan bertindak prosedural.
Dari penelusuran dan pengumpulan data-data di lapangan, agaknya telah terjadi kerugian negara sangat signifikan di Dinkes Aceh. Pada lintas sektor pengendalian pekerjaan tim medis.
Jika terbukti benar, tindakan ini bukan hanya ‘breaking the law’, tetapi juga merugikan para atlet dan masyarakat yang mendukung suksesnya PON Aceh.
Harapannya, kegiatan PON ke XXI Aceh – Sumut tahun 2024 ini tidak dicederai oleh praktik kotor para ‘punggawa’ untuk mengumpulkan pundi-pundi cuan ilegal demi kepentingan pribadi dan mencoreng nama Aceh di pentas pagelaran PON dimaksud.
Mark-Up Anggaran dan Monopoli Kegiatan
Dalam investigasi awal mediaaceh.co.id menemukan beberapa kejanggalan, pergeseran anggaran di Bidang Kesehatan PB PON Aceh. Di antaranya; Belanja Barang mengalami kenaikan sebesar Rp253.639.000,00, dari Rp3.740.611.296,00 menjadi Rp3.994.250.296,00, meningkat sebesar 6,78%.
Belanja Jasa naik signifikan sebesar Rp497.492.000,00, dari Rp11.551.912.080,00 menjadi Rp12.049.404.080,00, atau naik 4,31%.
Selanjutnya; Kenaikan terbesar tercatat pada [Belanja Jasa Kantor], yang melonjak sebesar Rp843.250.000,- dari Rp9.431.432.080,- Menjadi Rp10.274.682.080, – Atau naik 8,94%.
Di sisi lain, beberapa pos anggaran lainnya justru mengalami penurunan, seperti [Belanja Sewa Peralatan dan Mesin] turun sebesar Rp350.000.000, -dan [Belanja Perjalanan Dinas Dalam Negeri] yang turun sebesar Rp751.131.000, –
Penurunan ini semakin memperkuat ‘endusan’ dugaan adanya pengalihan anggaran untuk kepentingan tertentu. Secara keseluruhan, anggaran yang dikelola untuk kegiatan pendukung PON Aceh 2024 oleh Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan peningkatan dan pergeseran yang mencolok.
Total anggaran untuk belanja barang dan jasa naik menjadi Rp26.318.336.456,- dari sebelumnya Rp24.723.955.456,-
Kenaikan total sebesar Rp1.594.381.000,- ini menimbulkan kecurigaan terhadap adanya potensi mark up dan pengalokasian yang tidak transparan.
Kejati Aceh Harus Bertindak
Dalam situasi seperti ini, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik menjadi sangat krusial.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh didesak untuk segera melakukan investigasi mendalam, memanggil pihak-pihak terkait, dan jika ditemukan bukti yang cukup, membawa kasus ini ke ranah hukum.
Masyarakat Aceh berharap, jika dugaan ini terbukti, Kadis Dinkes Aceh dan pihak terkait lainnya mendapatkan sanksi yang setimpal.
Langkah ini penting untuk memberikan efek jera dan memastikan bahwa praktik-praktik yang merugikan seperti ini tidak terulang di masa depan.
Jerat bagi Pelaku Korupsi
Kasus dugaan korupsi ini dapat merujuk pada berbagai undang-undang di Indonesia, seperti:
[Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999] tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001].
Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara diancam dengan pidana penjara hingga 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
[Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003] tentang Keuangan Negara, yang mengharuskan pengelolaan keuangan negara dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
[Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014] tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat pemerintah.
[Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018] tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang mengatur agar pengadaan dilakukan tanpa mark-up dan monopoli.
[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)], khususnya Pasal 423, yang mengatur penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat untuk keuntungan pribadi.
Efek Jera dan Langkah Hukum
Berharap Kejati Aceh mengambil langkah cepat dan tegas dalam menangani dugaan kasus korupsi ini.
Hanya dengan penegakan hukum yang adil dan transparan, integritas pelaksanaan PON Aceh serta kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana publik dapat dijaga.
Skandal seperti ini tidak hanya merusak citra pemerintah, tetapi juga merugikan masyarakat luas yang berharap PON Aceh dapat berlangsung sukses tanpa adanya praktik korupsi. [Tim].