BANDA ACEH | AP-Dugaan korupsi besar-besaran yang diduga melibatkan para eks kombatan sebesar Rp.650 Miliar memasuki tahap baru setelah LSM GeRAK Aceh melakukan penyerahan berkas dugaan korupsi dana hibah tersebut ke Kejaksaan Tinggi Aceh, Selasa, 24 Januari 2017, sekitar Pukul 10.00 WIB.
Saat melakukan penyerahan berkas dugaan korupsi itu, dari pihak GeRAK Aceh diwakili langsung Koordinator, Askalani, Ahyuhuddin (Divisi Penanganan Korupsi), Mahmudin (Bagian Investigasi dan Data), Efan Saputra (Bagian Pengelola Data), Penas dan Ayu (membidangi perempuan). Sedangkan pihak Kejati Aceh turut hadir Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Raja Nafrizal, SH, Wakil Kejaksaan Tinggi Aceh, ), Mansur, S.H. dan 15 orang anggota Kejati Aceh yang mewakili di setiap bidang.
Sebelum penyerahan dokumen tersebut, Ketua GeRAK Aceh, Askalani menyampaikan beberapa catatan hasil kajian dan temuan hasil monitoring kepada jajaran kejaksaan, seperti pembangunan beberapa aset peternakan ayam yang diberikan kepada penerima dinilai tidak tepat karena belanja yang digunakan merupakan belanja barang yang akan diserahkan kepada pihak ketiga (kode rekening 522.23) dan bukan belanja moda| ( kode rekening 52.3)
“Dinas SKPA tidak melakukan verivikasi faktual secara menyeluruh kepada penerima hibah (budidaya ayam petelur, dan penggemukan sapi) akan tetapi hanya berdasarkan proposal yang dlajukan oleh koperasi, yayasan dengan mendapat persetujuan dari KPA dan Wakil Gubernur Aceh,” beber Ashkalani di depan petinggi Kejati Aceh.
Selain itu beber aktivis anti korupsi itu, juga ditemukan adanya dugaan potensi konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa antara pengusul program dengan pimpinan SKPA dan kontraktor yang memenangkan program kegiatan (adanya gratifikasi-red).
“Veriflkasi yang dilakukan oleh SKPA hanya sebatas calon penerima /lokasi akan tetapi kelayakan usaha, resiko usaha serta dokumen lainnya tidak pernah menjadi bahan pertlmbangan,” ujarnya.
Kemudian ungkap Askalani, pemberian hibah (bantuan budidaya ayam petelur) kepada koperasi penerima tidak tepat, karena koperasi tersebut tidak berpengalaman dan didirikan hampir bersamaan dengan program kegiatan yang diusulkan, dan dari SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) bukan bergerak dalam bidang peternakan tetapi bergerak di bidang perdagangan dan enceran.
“SKPA diduga tidak melakukan monitoring dan evaluasi yang diberikan dalam bentuk hibah dan bansos,” tegas Askalani lagi.
Terakhir ungkap Askjalani, SK Gubernur Aceh (Naskah Perjanjian Hibah) untuk penerima hibah tidak dibuat sehingga kewajiban dan tanggungjawab penerima tidak jelas, dan banyak calon penerima hibah tidak memenuhi syarat sebagai penerima hibah disebabkan tahapan verifikasi tidak seluruhnya dilakukan oleh dinas teknis (SKPA).
“Bantuan itu disalurkan hanya berdasarkan usulan KPA (Komite Peralihan Aceh) Kabupaten/Kota dan surat penetapan oleh Bupati/Wali Kota serta belum berbadan hukum terutama dari Kelompok Usaha Bersama,” pungkasnya. [BNC]