Datang bahagia pulang disambut gembira. Kalimat yang pantas ditujukan kepada Kontingen PKA ke-8 Aceh Selatan. Datang sebagai juara bertahan tentu punya rasa bangga tersendiri. Rasa tersebtut diwujudkan melalui persembahan yang memukau sehingga mampu membuat pengunjung senang nan bahagia menyaksikan adat budaya negeri pala yang multi etnik. Akhirnya kembali juara.
Betapa terharunya rombongan PKA dari Aceh Selatan. Saat pulang mereka disambut warga dengan suka cita di Jembatan Krueng Baru, Kecamatan Labuhan haji Barat, perbatasan Aceh Selatan dan Abdya, Selasa, (14/11).
Rombongan kembali dari Banda Aceh dengan memboyong piala dan prediket juara umum dipimpin ibu Pj Bupati Aceh Selatan selaku Ketua TP-PKK dan Ketua Dekranasda Kabupaten, Yuliani Irvana.
Turut serta dalam rombongan itu, Kepala Dinas Perindagkop T. Harida Aslim, SE,MM. Kepala Dinas Kominfo dan Persandian Munharsam, SE, M,Si, Kepala Dinas Pariwisata Mukhsin, ST, Kepala Dinas Pertanian H. Nyaklah, SP, MM dan peserta PKA ke-8.
Sebagaimana diketahui, pada event budaya itu, Aceh Selatan mampu mempertahankan prediket juara dan meraih juara 1. Sebanyak sembilan buah tropi kemenangan dapat direbut Aceh Selatan dari berbagai lomba di PKA ke-8 tahun ini.
Penghargaan penerapan program Nasional Go Green sebagai anjungan terbaik dan bersih dalam menerapkan program pemilahan dan pemanfaatan sampah yang ramah lingkungan dan 1 Tropi Juara Umum yang serta 1 Tropi Anugerah Pesona Indonesia (API).
Dalam API Award beberapa waktu lalu, ninuman tradisional jus Nipah, diboyong bersama ke Bumi Pala dibawa langsung oleh Kepala Dinas Pariwisata Aceh Selatan dari Kota Ambon ke Event Pekan Kebudayaan Aceh, pada tanggal 2 November 2023 lalu.
Dalam prosesi penyambutan di perbatasan hingga sampai ke Tapaktuan yang melewati beberapa kecamatan nampak antusias masyarakat khususnya para pelajar berdiri melambaikan tangannya kepada seluruh rombongan yang membawa tropi disepanjang jalan, diiringi rapai debus.
Sejak pukul pagi di lokasi sudah ditunggu para asisten, staf ahli, kepala SKPK, seluruh Camat dan masyarakat untuk menyambut jawara PKA ke-8 yang tiba pada pukul 09.00 WIB di perbatasan Kabupaten.
Sambutan hangat di Halaman Gedung Pertemuan Rumoh Agam Tapaktuan, dilakukan Pj. Bupati Aceh Selatan Cut Syazalisma dan disertai unsur Forkopimda, tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat.
Pj Bupati Cut Syazalisma, menyampaikan terima kasih atas kekompakan dan kerja keras serta semangat yang luar biasa tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan selama PKA berlangsung, hingga masa mendatang.
“Namun juara bukanlah yang utama tetapi rasa persatuan dan kesatuan yang mampu kita bangun dalam Aceh Selatan menyatukan 3 etnik, di antaranya etnik Aceh, Aneuk Jamee dan etnik Kluet menjadi satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan yang patut kita banggakan hingga hari ini,” kata Cut’ Syazalisma.
Awal Bahagia
Setiap daerah memiliki anjungan pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 di areal Taman Sri Ratu Safiatuddin Banda Aceh. Bagi 23 kabupaten/kota, anjungan itu pun, sudah ada sejak penyelenggaraan PKA sebelumnya.
Kali ini, sebagian daerah hanya merenovasi dan memperbaiki, bagian-bagian yang rusak agar lebih indah dipandang mata. Tidak kurang, Aceh Selatan juga menghadirkan anjungan yang indah untuk dilihat dan menarik untuk dikunjungi.
Tidak dipungkiri, anjungan Aceh PKA ke-8 Aceh Selatan sepertinya memiliki magnit yang mampu menarik para pengunjung untuk mengunjunginya. Tidak pelak, sejak pembukaan PKA ke-8 pada Sabtu, (4/11), malam, ribuan pengunjung memadati areal anjungan.
Bahkan, petugas anjungan kewalahan melayani pengunjung yang akan masuk ke ruang utama yang menghadirkan pelaminan adat tiga suku yaitu Aceh, Aneuk Jamee dan Suku Kluet. Karena petugas belum membuka pintu dan belum memperbolehkan untuk masuk, pengunjung sudah mulai ramai di bawah Rumoh “panggung” (tungkatang-bahasa Kluet-red) Aceh Selatan tersebut.
Bahkan sejak sore, warga mulai datang satu-persatu dan puncaknya pada malam hari, benar-benar membludak. Luar biasa ramainya. Mereka, mau berdesak-desakan untuk melihat berbagai hal yang mungkin tidak dijumpainya pada anjungan lain.
Aceh Selatan memang unik dan menarik. Bukan saja, tradisi turun temurun masyarakatnya, budaya, nilai-nilai adat dan hasil alamnya. Rempah-rempah yang kini menjadi thema PKA, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan rakyatnya. Bermacam-macam rempah pun, seperti pala, cengkeh, kayu manis, nilam, kemiri dan serei serta berbagai jenis lainnya, dipamerkan di Anjungan Aceh Selatan.
Selain pengunjung dalam dan luar daerah, terdapat turis mancanegara yang datang ke Anjungan Aceh Selatan yang terbuat dari bangunan kayu pilihan itu yakni dari Jepang dan Malaysia. Aceh Selatan konsisten dengan tema pelaksanaannya yang mengangkat tagline “Rempahkan Bumi, Pulihkan Dunia”.
Event ini pun, Aceh Selatan benar-benar ingin menghadirkan dan menampilkan suasana kehidupan yang tradisi dan harmoni di tengah heterogenitas masyarakatnya yang berbaur dalam perpaduan tiga suku yakni Suku Aceh. Aneuk Jamee dan Suku Kluet (Kluwat-red).
Dalam anjungan, Aceh Selatan ditampilkan lini peradaban masa lalu, yaitu Aceh Selatan masa lalu, Aceh masa kini, dan Aceh masa depan yang merupakan bagian dari keutuhan Aceh. Maka tak heran, pengunjung PKA ke-8 belum bahagia bila belum tahu tentang Aceh Selatan dan kehidupan masyarakatnya, maka keputusannya, berkunjunglah ke anjungannya.
Tarian Landok Sampot Tampil Asli
Kontingen Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8 tahun 2023 menjadikan tarian tradisional Landok Sampot sebagai seni yang wajib ditampilkan dan menjadi andalannya pada even budaya di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, 4-12 Nopember 2023.
Tarian Landok sampot yang sudah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) ini, ditampilkan dengan keasliannya tanpa modifikasi apapun.
Ketua Harian PKA ke-8 Aceh Selatan Akmal AH melalui Kabid Kebudayan Hendri kepada mediaaceh.co.id mengatakan, sesuai dengan rundown acara, tarian ini akan ditampilkan di Panggung Utama di Anjungan Ratu Safiatuddin antara pukul 21.00-22.00 WIB malam ini.
“Sebelum tampil, mereka sudah dibina sejak bulan Maret 2023, jadi penampilan Landok Sampot ini akan lebih sempurna dengan gerak asiknya, tanpa modifikasi sedikitpun, sesuai dengan permintaan panitia provinsi,” kata Hendri.
Menurutnya, berbagai etnis bangsa Aceh memiliki beragam kesenian tradisional dan menyambut tamu dengan tarian seperti Ranup Lampuan, Gayo dengan tari Guel-nya. Maka di Tanah Kluet (Kluwat-red), masyarakatnya memiliki tari persembahan yang berbeda, yaitu Landok Sampot.
Dari deskripsi tari Landok Sampot yang telah ditulis, masyarakat Kluet khususnya di Laweswah dan sekitarnya atau kawasan udik di Kluet Timur, Aceh Selatan itu, tarian ini diciptakan oleh seorang Panglima Negeri Kluet yang bernama Amat Sa’id. Tarian ini mulai berkembang pada masa pemerintahan Raja Imam Balai Pesantun dan Teuku Keujreun Pajelo.
Tarian ini dijadikan tarian adat yang disakralkan dalam setiap upacara adat. Sayangnya penciptanya tidak sempat melihat karyanya dicintai masyarakat Kluet. Karena sebelum tarian ini berkembang, Ahmad Sa’id hilang dan tidak pernah kembali dari sebuah perjalanan di Gunung (Delong-bahasa Kluet-red) Lawe Sawah.
Dari sejarah itu, masyarakat Laweswah dan sekitarnya (Tebing-temerking), menyebut gunung tempat hilangnya Mat Sa’id sebagai Gunung Mat Sa’id. Sampai sekarang, masyarakat setempat sering mengunjungi gunung tersebut untuk berziarah.
Sejak saat itu pula, Tari Landok Sampot terus dikembangkan dan dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dari Tanah Kluet. Tari Landok sampot merupakan tari persembahan yang ditampilkan sebagai tanda penghormatan kepada tamu atau seseorang yang dimuliakan dalam sebuah upacara adat. Dahulu, tarian ini dipertunjukkan dalam penyambutan kalangan pembesar atau kalangan raja-raja.
Akan tetapi, boleh ditarikan di kalangan masyarakat atas persetujuan raja. Misalnya, dalam upacara adat perkawinan, khitan, dan lain-lain. Namun sekarang tari tersebut juga digunakan untuk menyambut tamu kenegaraan meskipun bukan orang Kluet.
Tari Landok sampot dimainkan oleh 8 orang laki-laki dewasa, diiringi oleh seorang penyair dan seperangkat alat musik yang terdiri atas suling, gong, dua buah canang dan dua gendang.
Sesuai namanya, Landok yang berarti tari dan sampot yang berarti libas/lecut atau pukul. Maka tarian ini menampilkan gerakan seperti perkelahian antara dua kelompok pemuda. Digambarkan bahwa mereka sedang bertarung memperebutkan seorang putri raja, dan yang menang akan dipilih menjadi pasangan putri tersebut.
Gerakannya, terdiri dari lima bagian gerakan antara lain Landok Kedidi (gerakan seperti burung kedidi yang bisa melompat riang dengan tempo cepat), Landok Kedayung (gerakan gemulai seperti mendayung sampan), Landok Sembar Keluki (gerakan dasar seperti burung elang menyambar, gerak cepat, tangkas dan dinamis).
Landok Sampot (gerak melecut dan memukul dengan menggunakan bamboo seperti tangkai pancing tradisional), dan Landok Pedang (gerakan penari dengan menggunakan pedang yang menunjukkan ketangkasan dan kekebalan).
Untuk menarikan tarian ini, maka penari harus mengenakan pakaian yang sesuai dengan adat suku Bangsa Kluet. Tarian ini, mulai berkembang seiring dengan pembinaan dan seringnya tampil di berbagai even.
Masyarakat luar pun, mulai melirik karena keunikan dan keaslian tarian yang tercipta sejak ratusan tahun lalu. Begitulah, sekilas Tari Landok milik Aceh Selatan dari Kluet dan tanpa tari ini, rasanya kehadiran Kontingen PKA ke-8 Aceh Selatan kurang sempurna dan tidak berarti apa-apa. (***)