Pertamina dan Mafia Migas: Dosa Lama di Ladang Emas Hitam
JAKARTA (MA)- Pertamina sungguh hebat. Sejak Indonesia Merdeka, mereka sudah menguasai sektor minyak dan gas bumi (migas). Sektor tulang punggung perekonomian nasional.
Namun, di balik kilauan emas hitam ini, praktik korupsi dan keberadaan mafia migas telah lama membayangi, menggerogoti kesejahteraan rakyat dan merugikan negara.
Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia menasionalisasi aset Royal Dutch/Shell, yang kemudian melahirkan Permina sebagai perusahaan minyak negara di bawah pimpinan Letnan Jenderal Ibnu Sutowo. Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan sumber daya alam demi kepentingan nasional. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul tantangan dalam menjaga integritas dan transparansi di sektor ini.
Pada awal 1970-an, Pertamina mengalami ekspansi besar-besaran, tidak hanya di sektor migas tetapi juga merambah ke industri lain seperti semen, pupuk, dan telekomunikasi. Namun, pada tahun 1975, terungkap bahwa Pertamina menanggung utang lebih dari US$10 miliar akibat mismanajemen dan korupsi. Krisis ini hampir menggandakan utang luar negeri Indonesia dan merusak reputasi elite nasional di mata publik dan internasional.
Pada masa Orde Baru, praktik mafia migas semakin mengakar. Mafia ini memanfaatkan celah dalam pengelolaan Pertamina dan anak perusahaannya untuk meraup keuntungan pribadi. Salah satu modus operandi yang umum adalah manipulasi dalam proses tender pengadaan minyak dan praktik blending minyak yang merugikan negara.
Pertamina Energy Trading Ltd. (Petral), anak usaha Pertamina yang berbasis di Hong Kong, sering disebut sebagai sarang mafia migas. Petral diduga terlibat dalam praktik korupsi dan manipulasi tender pengadaan minyak. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membubarkan Petral sebagai bagian dari upaya memberantas mafia migas.
Pada tahun 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bambang Irianto, mantan Managing Director PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd. (PES) periode 2009-2013, sebagai tersangka dalam kasus suap terkait perdagangan minyak mentah dan produk kilang. Ia diduga menerima suap sebesar US$2,9 juta melalui perusahaan yang didirikannya di British Virgin Islands, yaitu SIAM Group Holding Ltd.
Pada Februari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Kasus ini diperkirakan menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun. Modus yang digunakan antara lain pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dan penurunan produksi kilang untuk kepentingan impor.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan komitmen Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi, baik melalui pendekatan preventif maupun represif. Ia menekankan pentingnya pemulihan kerugian negara dengan menelusuri dan merampas aset-aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Saat KPK masih dipimpin Firli Bahuri, dia menekankan pentingnya sinergi antara KPK dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Ia menegaskan bahwa tidak ada persaingan antara kedua lembaga tersebut, melainkan kerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyoroti bahwa modus yang digunakan dalam kasus korupsi minyak mentah terbaru serupa dengan modus mafia migas sebelumnya, yakni mark up impor minyak mentah dan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM).
Lembaga Swadaya Masyarakat Komunitas Pemburu Korupsi Republik Indonesia (LSM KPK RI) berperan serta membantu penegak hukum dalam mencari dan memperoleh bukti-bukti autentik terkait kasus korupsi. Mereka menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi untuk menciptakan tata kelola migas yang bersih dan transparan.
Sejarah panjang skandal dan praktik mafia di sektor migas Indonesia menunjukkan betapa pentingnya reformasi dan pengawasan yang ketat. Dengan komitmen bersama dari pemerintah, aparat penegak hukum, LSM, dan masyarakat, diharapkan industri migas Indonesia dapat dikelola dengan transparan dan memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat. (Red/MU/Int)