BANDA ACEH (MA) – Masa jabatan Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar akan segera berakhir setelah gubernur dan bupati/walikota definitif dilantik. “Momen ini menjadi perhatian publik, khususnya terkait langkah-langkah yang akan diambil Pj Bupati menjelang akhir masa jabatannya,” kata Direktur Emirates Development Research (EDR), Dr. Usman Lamreung, M.Si, pada media lewat siaran persnya, Ahad, (19/1/2025).
Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan: Apa strategi Pj Bupati ke depan?. Menurut Usman Lamreung, jawabannya bergantung pada dinamika politik serta keputusan gubernur dan bupati/walikota terpilih.
Ia menyebut bahwa Pj Bupati masih memiliki kewenangan untuk mempersiapkan transisi yang mulus atau “Soft Landing” sebelum masa jabatannya usai.
“Dalam waktu yang tersisa, Pj Bupati dapat melakukan langkah-langkah strategis demi memastikan keberlanjutan pemerintahan. Namun, ada juga manuver politik yang dilakukan untuk menjaga peluang posisi strategis di masa mendatang,” ujar Usman Lamreung.
Ia menyoroti isu yang beredar, bahwa Pj Bupati diduga masuk dalam daftar hitam salah satu kubu politik, yakni Tim 02, karena dianggap berpihak pada salah satu calon dalam Pilgub. Meski demikian, ada juga kabar bahwa Pj Bupati masih memiliki peluang menduduki jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Besar di bawah kepemimpinan bupati definitif.
Pasca pelantikan bupati definitif, posisi-posisi strategis dalam struktur pemerintahan yang kosong harus segera diisi. Usman mencatat, langkah-langkah seperti pencopotan Sekda saat ini dan penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan merupakan bagian dari strategi politik untuk mengantisipasi restrukturisasi di bawah pemimpin baru.
“Langkah-langkah ini tidak hanya mencerminkan manuver politik birokrasi yang dimainkan oleh Pj Bupati, tetapi juga bertujuan mengatur ulang struktur pemerintahan Aceh Besar demi mempersiapkan transisi yang lancar,” tambahnya.
Meski demikian, strategi ini menghadirkan tantangan. Di satu sisi, Pj Bupati perlu menjaga hubungan baik dengan bupati terpilih dan gubernur untuk mengamankan peran pasca masa jabatannya. Di sisi lain, manuver ini dapat memunculkan konflik kepentingan yang berisiko menimbulkan ketidakstabilan birokrasi.
Kini, perhatian tertuju pada bagaimana gubernur dan bupati/walikota definitif akan merespons langkah-langkah ini. Akankah Pj Bupati berhasil mengamankan posisi strategisnya dalam pemerintahan mendatang? Atau justru tersingkir oleh kekuatan politik baru?
“Semua akan terjawab setelah pelantikan bupati definitif. Yang jelas, dinamika ini menjadi cerminan kompleksitas politik lokal yang terus berkembang,” pungkas Usman Lamreung.(Sayed Panton)