Ilmu Jurnalistik di Tingkat Sarjana Kian Mendesak: Pilar Profesi yang Teruji Ilmiah

ACEH | MA Pendidikan jurnalistik di tingkat sarjana dinilai semakin mendesak di tengah maraknya praktik jurnalisme instan dan derasnya arus informasi. Para tokoh pers nasional dan praktisi media menilai bahwa pembekalan akademik yang sistematis sangat penting untuk membentuk jurnalis yang profesional dan berintegritas.

Hal tersebut disampaikan dalam rilis pers yang diterima redaksi media ini pada Selasa (8/4).

Ketua Umum Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (FPRMI), Wilson B. Lumi, menyatakan bahwa jurnalisme tidak cukup hanya dipahami sebagai keterampilan teknis. “Jurnalisme bukan sekadar kemampuan menulis atau menyunting berita. Ia adalah ilmu, seni, dan tanggung jawab moral dan sosial yang menuntut pembentukan karakter serta kapasitas intelektual,” ujarnya.

BACA JUGA...  Kembali ke Bulan Ramadhan, Momen Meraih Taqwa dan Keberkahan

Pengamat Pers Nasional, Muktarruddin Usman, menegaskan bahwa pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi merupakan benteng utama dalam menjaga profesionalisme media.
“Jurnalis yang tidak pernah bersentuhan dengan teori jurnalistik, komunikasi, kode etik, dan sejarah pers akan mudah tergelincir menjadi alat propaganda atau penyebar berita sensasi,” katanya.

Senada dengan itu, wartawan senior asal Aceh, Maslow Kluet, menilai bahwa tantangan terbesar industri media saat ini bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga dari krisis kepercayaan publik. “Ilmu jurnalistik di level sarjana memberikan kerangka berpikir logis dan tanggung jawab moral yang kuat. Itu tak bisa digantikan oleh pengalaman lapangan semata,” ucapnya.

BACA JUGA...  Aceh Ikut Meriahkan Indonesia Expo - Jeddah

Pandangan serupa juga disampaikan Rizki Maulana, mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta. Menurutnya, pendidikan jurnalistik di kampus membentuk pemahaman intelektual tentang peran media dalam konstruksi realitas.
“Kalau hanya mengejar viral, semua orang bisa jadi jurnalis. Tapi tanggung jawab sosial dan integritas lah yang membedakan kita,” katanya.

Di Aceh, beberapa perguruan tinggi telah mengintegrasikan mata kuliah jurnalistik dalam program studi komunikasi. Namun sejumlah pihak menilai sudah saatnya hadir program studi jurnalistik murni yang berdiri sendiri agar proses pendidikan berlangsung lebih fokus dan terarah.

BACA JUGA...  Pengprov ISSI Gelar Gowes Ceria 2019

Wilson B. Lumi menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa jurnalis tidak seharusnya hanya dipandang sebagai pencatat atau perekam peristiwa. “Mereka harus mampu menulis sejarah, mengawal demokrasi, dan menjadi suara bagi yang dibungkam,” pungkasnya. (R)