Banda Aceh | AP– Akademisi Universitas Muhammadyah, Banda Aceh, Dr H. Ali Amin SE. Msi.Ak.CA mengungkapkan, pengelolaan zakat dan infaq oleh Baitul Mal di Aceh selama ini berjalan tidak baik. Akibatnya, Pemerintah Aceh belum berhasil memberi keadilan bagi kaum yang berhak dalam hal ini Fakir dan Miskin di Aceh.
“Karena sistem pengelolaan antara Baitul Mal sendiri bermasalah yaitu masalah Legislasi (aturan hukum) mengacu pada aturan Undang-Undang Pemerintah Aceh yaitu Syariat Islam dan Permendagri No 13 tahun 2006,” ujarnya pada pertemuan Diskusi Public yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute dengan tema “Politik, Dana Rakyat Dan Pengentasan Kemiskinan”, Rabu, 21 September 2016 di D Rodya Cafee, Banda Aceh.
Penyebab Baitu Mal seluruh Aceh bermasalah dalam pengelolaan zakat dikarenakan zakat sudah menjadi Pendapatan Asli Aceh atau Pendapatan Asli Kabupaten/Kota, maka semuanya harus mengacu pada Undang-Undang atau Permendagri No 13 Tahun 2006.
“Jika diambil menurut Undang-Undang Pemerintah Aceh jelas akan bermasalah oleh sebab itu jalan keluarnya melalui kompromi terhadap legislasi agar tidak tertahan jika sudah sesuai mekanismenya yaitu mekanisme yang menurut aturan Kemendagri,” sarannya.
Oleh sebab itu ia mengusulkan agar tidak ada lagi hambatan terhadap Legislasi Nasional atau bila perlu dibentuk BLUD/ Badan Layanan Umum Daerah. “Jadi berapa yang diterima dari masyarakat langsung dikelola meskipun nanti akan dilakukan pelaporan kepada Pemerintah Aceh sebagai bahagian pendapatan belanja APBA,” ujarnya.
Disisi lain, Ali Amin mengatakan, banyak perusahaan yang tidak teladan membayar zakat meskipun Pemerintah Aceh sudah mewajibkan untuk perusahaan tetapi perusahaan tersebut menyangkut dengan rekanan, yang dilakukan melalui APBN atau APBA Pemerintah Aceh dengan menetapkan Infak atau Zakat agar disetorkan kepada Pemerintah Aceh atau Pemerintahan Kabupaten/Kota sesuai dengan Pergubnya.
“Baik itu sumber utama Zakat ini dari Pegawai Negeri maupun Pegawai Honorer, bagi yang Honor ini ditetapkan Infaq sebesar 1%. Kemudian bagi Perusahaan di luar Rekanan belum ada dan itu hanya bersifat himbauan saja kecuali rekanan itu sudah kewajiban membayar Zakat dan Infaqnya,” bebernya.
Selain itum sarannya, kebijakan yang lebih baik sangat menentukan, agar penggunaan Zakat dan Infaq untuk pengentasan kemiskinan di Aceh ini harus lebih baik dalam pengelolaannya.
“Tidak seperti sekarang ini jelas tidak baik jangankan untuk masuk pencairan dana Zakat itu pengelolaan saja sudah bermasalah karena lahirnya sudah salah lahirnya dari Pergub, karena tidak boleh suatu lembaga menggunakan anggaran APBN atau APBD oleh karena itu lembaganya harus lahir dari Undang-Undang,” sarannya lagi.
Bukan itu saja, Pemerintah Pusat sudah mengakui adanya Sekretariat sehingga ada Badan Pelaksana ( BAPEL ) dan ada juga Sekretariat sehingga keduanya sering menimbulkan konflik.
“Berkelahi dia, siapa yang berhak berkuasa dan mengelola di Baitul Mal ini. Masing-masing punya pendirian. Seharusnya Pemerintah Aceh mau memberikan petunjuk teknis bahwa Sekretariat ini hanya berfungsi sebagai Fasilitator yaitu orang yang memberi kemudahan kepada Badan Pelaksana,” arahnya.
Sehingga selama ini katanya, terkesan yang berkuasa adalah PNS karena Badan Pelaksana bukan PNS dari Pemerintah Daerah.
“Maka sekretariat ini tidak dilihat bahagian dari pengelola Baitul Mal kapan mau dilakukan pengentasan kemiskinan?, jangankan dananya cair pengelolanya juga tidak cair,” sindir pakar ekonomi dalam acara itu. (Azwar)