Tumpahan Batubara Terus Berulang, WALHI Aceh Nilai Moratorium Izin Tambang Sikap yang Dinanti Masyarakat

ACEH BARAT (MA) Limbah tumpahan batubara yang kerap terjadi di Kabupaten Aceh Barat, sudah sangat mengkhawatirkan, karena mempengaruhi keberlangsungan hidup nelayan dan ekosistem laut sekitarnya.

Akibatnya gelombang protes terus berdatangan dari masyarakat setempat.

Deputi WALHI Aceh, M. Nasir Buloh mengungkapkan, berdasarkan catatan pihaknya tumpahan batubara terus berulang terjadi, sehingga setiap tahun ada masyarakat yang protes dan mengeluh terkait pencemaran debu dan pencemaran laut terkait tumpahan batubara.

Ditengah gelombang protes tersebut, kata Nasir, anehnya, perusahaan-perusahaan tersebut diberi predikat PROPER biru setiap tahunya. Untuk diketahui, PROPER biru
ialah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada perusahaan yang dinilai memiliki kinerja pengelolaan lingkungan terbaik.

“Artinya ini ada kesenjangan penilaian. Kami mencoba mengkritisi bagaimana penilaian PROPER-nya ini, ” kata Nasir dalam diskusi bertemakan Pencemaran Limbah Batubara di Aceh Barat. Tanggung Jawab Siapa? yang digelar oleh KosTum, di Banda Aceh, Rabu (23/10).

BACA JUGA...  Aminullah Sukses Memerdekakan Pedagang dari Praktek Rentenir

Untuk itu, sebutnya, WALHI sependapat dengan rekomendasi hasil dari Panitia Khusus (Pansus) DPRA, yakni harus adanya Moratorium Izin Tambang.

Menurutnya, moratorium izin tambang ini sudah cukup lama didorong pihaknya. Sehingga ini menjadi penting, sebab dalam masa moratorium tersebut, Pemerintah Aceh dalam kewenangannya dapat melakukan evaluasi dan melakukan perbaikan tata kelola terkait izin yang pernah dikeluarkan sebelumnya.

“Bagi perusahan yang dianggap melanggar izin, maka Pemerintah Aceh nanti harus berani mengambil sikap, apakah sanksi administrasi atau sanksi pembekuan izin. Atau sampai pencabutan izin. Saya kira itu sikap yang dinantikan masyarakat dalam konteks apa yang terjadi Aceh Barat saat ini, dimana dominannya paling tinggi angka protesnya di Aceh Barat,” pungkasnya.

Sementara itu, Sub Koordinator Standarisasi dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLHK, Muhammad Subhan mengungkapkan bahwa DLHK Aceh terus mendorong dilakukannya kajian lokal mengenai dampak ceceran tumpahan batu bara di sekitar lautan.

BACA JUGA...  Jalan Lintas Penghubung Dua Gampong di Tanah Jambo Aye Perlu Pengaspalan 

Subhan menekankan pentingnya mengetahui sejauh mana tumpahan tersebut mempengaruhi ekosistem laut, serta menyoroti perlunya evaluasi reklamasi di area bekas tambang.

Dalam rangka menjaga kualitas lingkungan, Subhan menyebutkan pihaknya melakukan pemantauan dan pengawasan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengawasan tidak langsung dilakukan dengan mengevaluasi laporan yang diberikan perusahaan setiap tiga bulan. Laporan tersebut mencakup berbagai aspek, seperti pengelolaan limbah, pencemaran air, kualitas udara, dan lainnya.

Sementara itu, pengawasan langsung dilakukan setidaknya satu hingga dua kali dalam setahun. Subhan menyampaikan bahwa DLHK Aceh merespons cepat jika ada pengaduan dari masyarakat atau pemberitaan yang mengindikasikan adanya pencemaran lingkungan.

“Itu upaya-upaya yang kita lakukan dalam memitigasi serta memantau apa yang sudah dilakukan oleh perusahaan,” pungkasnya.

Selain itu, pihaknya merekomendasikan pemasangan peralatan Automatic Air Quality Monitoring System (AQMS) pada perusahaan pertambangan untuk memantau kualitas udara secara real-time.

BACA JUGA...  Kodam IM Jalin Silaturahmi Melalui Komsos Dengan Pemerintah

Dikatakan Subhan, sistem pemantauan kualitas udara ini dapat membantu memastikan bahwa kualitas udara sekitar mematuhi regulasi lingkungan lokal. Ini sangat penting untuk melindungi masyarakat umum yang tinggal di dekat lokasi pertambangan.

“Pemantauan ini penting untuk mengetahui konsentrasi limbah udara dan apakah sudah mencemari lingkungan atau masih berada dalam batas aman,” ujar Subhan.(R).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *