RSUD Aceh Tamiang Megah, tak Seheroik Bobroknya Pelayanan

RSUD Aceh Tamiang Megah, tak Seheroik Bobroknya Pelayanan

KUALASIMPANG (MA) – Cikal bakal terbentuknya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Aceh Tamiang, berawal adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) terbesar di Indonesia saat itu, sebab memiliki tatanan teknis dan pelayanan medis yang begitu lengkap.

Ada Bangsal tempat perawatan pasien, ruang operasi, pengolahan limbah yang baik, dokter spesialis, ruang Rongent, serta fasilitas penunjang lain sebagai upaya pelayanan medis cepat tepat.

Puskesmas Karang Baru [begitu sebutannya] sebab berada di kecamatan Karang Baru [kewedanaan Aceh Timur] masa pemerintahan Kolonial Belanda.

Seorang dr. Zaini [mantan Gubenur Aceh, periode 2012-2017] pernah melakukan praktik jasa medisnya di Puskesmas Karang Baru tersebut.

Namun karena pergerakan politik [kala itu], memaksa dia hengkang dari profesi dokternya, nyasar masuk dalam pergerakan struktur Aceh Merdeka [GAM] menjadi ‘sempalan’ pada ‘tras’ organisasi [yang dianggap pemerintah RI sebagai gerakan sparatis] itu.

Kita lupakan dahulu dr. Zaini. Beralih pada tingkat pelayanan yang dirasa pasien masih sangat jauh dari kata ‘sempurna’ diberi para dokter spesialis kepada pasien.

Saat menyandang sebutan Puskesmas Karang Baru, pelayanan jasa medisnya (kesehatannya) sangat sempurna, sebab dimanajerial dengan baik dan benar. Maju dan berkembang dengan pesat, hingga [Puskesmas Karang Baru] menjadi rujukan bagi pasien [Langsa, Peureulak, Idi serta daerah tetangga dari Aceh Timur].

Kabupaten Aceh Tamiang terbentuk pada 2 Juli 2002 [resmi menjadi Kabupaten Aceh Tamiang]. Perioritas utama yang harus dikejar adalah pelayanan; Kesehatan, Pendidikan, Pemerintahan dan Infrastruktur.

Dengan komitmen itu, 14 tahun kemudian [2016] Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) diresmikan oleh Bupati ke-2 kabupaten Aceh Tamiang [H. Hamdan Sati] periode 2012-2017.

Prioritasnya; Pelayanan Kesehatan, Pendidikan, Infrastruktur [wilayah pedalaman, terpencil dan terisolir], Pertanian dan Perkebunan. Sebagai lokomotif untuk mendongkrak perekonomian kabupaten pemekaran dari Aceh Timur.

RSUD Aceh Tamiang terus berbenah meningkatkan pelayanan (kesehatannya) kearah yang lebih baik. Bercita-cita menjadi Rumah Sakit rujukan.

Untuk menuju kearah itu, manajemen RSUD Aceh Tamiang melengkapi sarana dan prasarana, baik fisik maupun kekurangan dokter spesialis.

Itu dilakukan sebagai upaya meningkatkan status, dari tipe C ke tipe B. Mengingat RSUD sudah dilengkapi dengan dokter spesialis Anak, Dalam, Bedah, THT, Kandungan, Syaraf dan Dokter Spesialis lainnya.

Pun begitu, pelayanan RSUD Aceh Tamiang yang diberikan kepada pasien belum juga mencapai batas maksimal, masih sangat banyak keluhan karena keterlambatan penangan pasien kritis oleh dokter spesialis.

Tak hanya itu, dokter spesialis juga kerap menyalahi aturan yang dibuat oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta kode etik kedokteran [kelalaian] penanganan.

Padahal fasilitas untuk menutupi kekurangan RSUD Aceh Tamiang sudah dipenuhi oleh manajemen Rumah Sakit, seyogianya semakin baik, bukan sebaliknya. Lalu apalagi yang kurang?.

Intonasi perjalanan RSUD Aceh Tamiang tersebut sangat melegenda. Sampai-sampai predikat Puskesmas terbesar di ASEAN juga pernah diraihnya. Namun predikat itu berbanding terbalik dengan pelayanan yang diberikan.

Citra bobroknya pelayanan sudah diwariskan oleh direktur-direktur terdahulu, secara ‘sistemik’ berjalan sangat rapi. ‘Kontradiksi’ dengan ekspektasi pasien yang menginginkan pelayanan ‘paripurna’.

Harapan masyarakat, khususnya pasien pada direktur RSUD Aceh Tamiang adalah; mampu ‘mereduksi’ kepermukaan pelayanan yang tidak baik menjadi lebih baik.

Berani mengungkapkan kekurangan, agar pemerintah Aceh Tamiang bisa bersikap untuk menutupi kekurangan tersebut. Dampaknya agar citra RSUD Aceh Tamiang tidak ‘terdegradasi’.

Kemampuan pelayanan yang baik bukan dari seorang direktur saja, tetapi lebih kepada ‘leader’ setingkat Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Seksi (Kasi). ‘Sensor motorik-nya’ ada pada mereka.

BACA JUGA...  Sertu Andri dan Isteri Tewas Ditembak OTK Disertai Bacokan Benda Tajam

Catatan redaksi Mingguan Media Aceh dan mediaaceh.co.id, kelemahan RSUD Aceh Tamiang hari ini adalah warisan para punggawa masa lalu. Centang prenang-nya terlukis dibenak masyarakat hingga saat ini. Bisakah berubah menjadi lebih baik?, kita lihat saja.

Keluhan Pasien
Masyarakat Aceh Tamiang terkhusus pasien yang merasakan bobroknya pelayanan dari dokter spesialis. Menjadi catatan hitam perjalanan terbentuknya RSUD Kabupaten Aceh Tamiang.

Awaluddin Candra

Awaluddin Candra 56 tahun warga Kota Kualasimpang pertengahan Mei 2022 lalu telah di vonis usus buntu berdasarkan diagnosa Rongent dan USG, lalu keesokan harinya harus dioperasi.

Namun tidak juga dioperasi, info dari ruangan dimana Awaluddin Candra dirawat [Muda Sedia] didapat kalau dokter sedang berada diluar, operasi ditunda lagi.

Sampai dokter spesialis bedah hadir ke RS. Setelah menunggu dua hari [tapi pasien sudah sangat menderita dengan sakitnya] baru dilakukan operasi.

“Saya pribadi sangat menyesalkan pelayanan dan tingkah dokter spesialis yang semena-mena terhadap pasien. Sebab pelayanan ini-kan menyangkut keselamatan jiwa pasien. Kenapa harus pasien yang menunggu dokter, bukannya setiap hari ada piket di RSUD Aceh Tamiang?,” jelas Awaluddin setengah bertanya.

Anehnya lagi, Awaluddin sudah divonis terserang tumor, lalu dioperasi, dokter mengatakan kepada keluarga pasien, bahwa pasien 1 bulan lagi baru bisa diangkat tumornya dan dokter bedah mengatakan akan mengeluarkan ususnya terlebih dauhulu untuk membuang kotorannya.

Namun begitu dioperasi, dokter bedah memanggil keluarga pasien, bahwa pasien bukan mengidap tumor, tetapi inpeksi ginjal.

Munculah pertanyaan, bagaimana sebenarnya, hasil diagnosanya dengan fakta. Sebab kalau memang hasil diagnosanya benar-benar dilakukan secara teliti, kebenarannya pasti sama.

Dan tidak menebak-nebak saat melakukan operasi, pasien terserang penyakit apa. Apalagi hasil pemeriksaan diagnosanya sudah ada.

“Inikan sama dengan dokter tidak menjalankan diagnosa yang benar, ada indikasi tindakan kelalaian pihak manajemen RSUD Aceh Tamiang, begitu juga dengan dokter spesialis,” jelasnya.

Lalu, telaah dan analisa dokter spesialis bedah terhadap penyakit, menggunakan metode apa, sehingga bisa beda hasil. Vonis Tumor kok ke infeksi ginjal.

Selanjutnya ada indikasi lemahnya kinerja para dokter spesialis terhadap kajian diagnosa yang dilakukan. Muncul lagi pertanyaan, apakah alat pemeriksaan yang digunakan RSUD Aceh Tamiang sudah tidak akurat?. Sehingga hasil diagnosanya bisa berbeda-beda.

Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan pasien. “Saya heran, apakah kartu BPJS tersebut tidak terlalu berlaku di RSUD Aceh Tamiang, hingga pelayanan yang diberikan sesuka hati para dokter spesialisnya.

“Saya minta kepada bapak Direktur RSUD Aceh Tamiang harus bertindak tegas, dokter lain masih banyak yang mau bekerja, jika dokter tak mengindahkan protap, pecat dan ganti dengan yang lain,” jelas Awaluddin geram.

Pasien Rujukan

Hal yang sama tak hanya dirasakan Awaluddin Candra, tetapi Elin 52 tahun juga mengalami nasib serupa. Dia mengeluhkan tentang pelayanan yang diberikan manajemen RSUD Aceh Tamiang.

Pada Rabu, 27 Juli 2022 malam. Elin membawa abangnya ke rumah sakit untuk diopname pada pukul 12.00 WIB, masuklah ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Aceh Tamiang dilakukan pemeriksaan.

Keesokan harinya, setelah mengurus administrasi (Pasien BPJS) masuklah ke ruang kelas III, Ruang Muda Sedia sesuai kartu BPJS. Dilakukanlah pemeriksaan oleh para medis. Memang suhu tubuh pasien [abang Elin] mencapai 40 derjat celcius.

Pasien mengalami gejala menggigil, nafas susah. Lalu dilakukanlah Ultrasonograf (USG), [Pengambilan Gambar Bagian Tubuh Tertentu] untuk mendeteksi pentakit.

Hasil USG menerangkan bahwa, pasien mengalami inpeksi paru-paru, namun tidak ada tindakan medis, sebab dokter spesialis tidak ada saat dibutuhkan.

BACA JUGA...  Ratusan Warga Rantau Pakam Antusias Ikut Vaksin

Keterangan dari para medis, dokter besok baru masuk. Sementara pasien sudah sekarat, dokter tidak standby ditempat, secara otomatis para medis tidak bisa bertindak sebab tidak ada petunjuk dokter spesialis.

“Yang anehnya, kalau pasien sudah sekarat, seharusnya paramedis bisa mengambil sikap memasukan pasien ke ruang Intensive Care Unit (ICU) atau [ruang khusus untuk pasien kritis] untuk meningkatkan pelayanan secara khusus, itupun tidak dilakukan,” jelas Elin.

Elin mengatakan, dirinya sempat beradu argumen dengan para medis, sebab abangnya tidak mendapatkan pelayanan medis yang layak. Sementara pasiennya sudah mengalami kritis.

Baru setelah itu seorang medis menyuntikan cairan paracetamol ke tubuh pasien. Melihat gelagat tidak ada pelayanan yang baik, Elin minta dibuatkan surat rujukan ke RSU Royal Medan.

Setelah menunggu lama, surat rujukan tidak kunjung keluar. Padahal Elin mengajukan surat rujukan pada pukul 12.00 WIB, sampai pukul 15.00 WIB.

Elin berang, sebab dirinya berpendapat tidak selama itu membuat surat rujukan. “Pasien sekarat ini manusia lhoo, kondisinya sudah sangat labil, kapan lagi surat rujukannya keluar,” jelas Elin.

Dijawab oleh para medis, “RSU Royal tidak menerima pasien ICU lagi, sudah penuh,” kata salah seorang para medis. Langsung dijawab Elin, “Kok ICU, kami minta rujukan. Berarti kalian kan tahu kalau pasien ini sudah kritis, kenapa tidak ambil tindakan dibawa ke ICU RSU ini. Aneh kalian, pelayanan macem apa ini,” kata elin.

Dari situ, Elin berdebat lagi dengan para medis. Juga pasien tidak ada tindakan, sampailah pukul 20.00 WIB Surat Rujukan baru keluar. “Hebatkan, ngurus surat rujukan saja makan waktu 8 jam baru keluar [12.00 WIB ke 20.00 WIB]. Apakah ini yang dianggap pelayanannya baik?,” tanyanya.

Pada akhirnya Rujukan pada RSU Bina Kasih, karena keluarga pasien langsung yang memohon ke pihak RSU dan ada kamar untuk dirujuk.

Keluar dari masalah Surat Rujukan, masuk pada masalah ambullance. Begitu pasien mau dibawa, ambullance tidak ada.

Keluarga pasien tetap menunggu sampai ada ambullance, pada pukul 21.00 WIB baru ambullance ada. Pasienpun dibawa.

Dipertengahan perjalanan, Elin bertanya sama supir, “Air Conditioner (AC) kenapa tidak hidup, pasien dan kami kan kepanasan,” dijawab sopir ambullance, “kalau hidup AC minyaknya tidak cukup kak,” dijawab lagi oleh Elin “berapa harus kami keluar uang untuk isi minyak?,” Kata supir “Rp400 ribu kak,” kata supir.

Padahal pemerintah kan sudah menyiapkan uang operasional untuk ambullance-nya. “Meski ambullance untuk pasien itu gratis, pemerintah kan sudah bayar melalui biaya operasionalnya. Kalau ada pasien yang tidak mampu bagaimana?,” katanya kesal.

Lalu AC dihidupkan. Sesampai di RSU Bina Kasih. Elin memberi kepada sopir uang sebesar Rp500 ribu rupiah. Keesokan harinya, ada lagi pasien rujukan asal kota Kualasimpang juga diminta biaya sebesar Rp400 ribu rupiah.

“Saya kira, ini tindakan tidak benar yang dilakukan sopir ambullance, harus segera kepada Direktur RSUD Aceh Tamiang bersikap dan bertindak. Saya yakin, pak Direktur tidak tahu dan tidak dapat info ini. Inilah cara-cara tidak baik, mencari rezeki dengan menekan pasien,” kata Elin.

Ketua Komisi 3, Kami Sikapi.

Ketua Kimisi III Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang. Irwan Effendi menyikapi dan memanggil manajemen RSUD Aceh Tamiang untuk dimintai pertanggung jawabannya, terutama itu Direktur-nya.

Irwan Effendi, Ketua Komisi III DPRK Aceh Tamiang

“Kita sudah awasi kinerja RSUD Aceh Tamiang, hasil analisa Komisi III selama ini sudah berjalan dengan baik. Saya yakin pak Direktur tidak tahu ada praktik seperti yang dilaporkan pasien dan keluarga pasien,” jelas Irwan.

BACA JUGA...  GMNI Bener Meriah Minta Kejari Usut Kasus Korupsi

Menurut dia, tidakkan tersebut tidak boleh terjadi, sebab sudah ada pos anggaran untuk membayar para petugas teknis, para medis, dokter spesialis. “Inilah yang kita awasi. Apalagi itu, untuk dokter spesialis, mereka dibayar mahal untuk siap melayani pasien, termasuk mereka juga memperoleh uang jasa medis. Jadi mereka dibayar untuk siap melayani pasien, dalam kondisi apapun,” jelas Irwan.

Lalu, kalau sampai pasien mengeluh terhadap pelayanan dokter spesialis pada bidangnya masing-masing selalu tidak berada ditempat. Hal tersebut tindakan yang melawan sumpah dan kode etik kedokteran.

“Ini tindakkan kelalaian dokter speaialis, yang mencoreng nama baik RSUD Aceh Tamiang dianggap bobrok, padahal yang bobrok adalah oknum dokternya. Lembaga yang jadi jelek. Secepatnya kita panggil direkturnya,” tegasnya.

Kata Irwan, Komisi III DPRK Aceh Tamiang selalu membuka pintu selebar-lebarnya terhadap keluhan pasien RSUD Aceh Tamiang.

Apalagi itu, meningkatkan mutu dan pelayanan medis yang prima adalah tuntutan dan harus dapat dilakukan untuk merubah kearah yang lebih baik lagi.

“Saya menaruh harapan besar pada Direktur yang sekarang, untuk menungkatkan mutu dan pelayanan prima pada pasien. Apalagi direktur punya banyak trik dan program kedepannya untuk meningkatkan grade RSUD Aceh Tamiang ke tipe A,” pungkas Irwan.

Saya Tindaklanjuti Laporan Tersebut.

Direktur RSUD Aceh Tamiang. dr. Andika Putra, SpPD. Kaget ada laporan pasien yang mengeluh terkait pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan di RSU yang dipimpinnya.

dr. Andika Putra, SpPD. Dirut RSUD Aceh Tamiang

“Saya akan tindaklanjuti pengaduan ini, apalagi menyangkut nama baik RSUD Aceh Tamiang. Segera mungkin kita buat rapat. Terima kasih saya sudah di kritik, berarti masyarakat sayang sama RSUD Aceh Tamiang,” kata Andika.

Dia mengakui kalau pelayanan yang diberikan oleh RSUD Aceh Tamiang belum maksimal, Andika berjanji berusaha memperbaiki dan menambal pelayanan yang tidak baik menjadi lebih baik lagi, dengan membuat regulasi-regulasi yang melindungi hak-hak pasien.

Disamping itu juga, dalam rangka meningkatkan efisiensi birokrasi pelayanan rawat jalan, Andika juga memperkenalkan program yang akan digulirkan, yaitu digitalisasi pelayanan, seperti e-rekam medis, e-resep, antrian online, dan beberapa program lainnya yang sedang digodok perlu kajian mendalam untuk dapat meningkatkan layanan kesehatan.

Tidak hanya itu, kata Andika. Kelengkapan peralatan medis juga secara bertahap akan ditingkatkan sesuai skala prioritas dan anggaran yang tersedia, untuk menjadi RSUD yang refresentatif.

Peningkatan kinerja para dokter, nakes, manajemen, dan seluruh pegawai menjadi prioritas utama, dengan protap kerja. “tentunya hal ini akan meningkatkan pelayanan di RSUD Aceh Tamiang,” katanya.

Dia membuka kritikan multi linear yang sifatnya membangun kemajuan. Dia sadar, RSUD Aceh Tamiang bukan miliknya, tapi milik seluruh masyarakat Aceh pada umumnya dan Aceh Tamiang khususnya.

“Saya senang dikritik, selama kritik itu membangun, bukan memojokkan untuk kepentingan politik. Kohesi pasti ada, tetapi jangan mempropaganda untuk sesuatu tujuan kotor,” tegasnya. [Syawaluddin].

 

Penulis: SyawaluddinEditor: Syawaluddin Ksp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *