Peringati Hari Lahan Basah Sedunia, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh, Deklarasi serta Pernyataan Sikap

Peringati Hari Lahan Basah Sedunia, Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh, Deklarasi serta Pernyataan Sikap

Dr Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah dalam laporannya menyebutkan, tren pemukiman manusia saat ini juga menimbulkan ancaman besar terhadap konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di dan sekitar kota-kota berkembang.

KUALASIMPANG | mediaaceh.co.id –
Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh menyerukan lakukan pernyataan sikap dan deklarasi sebagai bentuk untuk memperingati hari lahan basah sedunia di Aceh. Jumat, 2 Februari 2024.

Deklarasi dan Pernyataan Sikap tersebut signifikan dilakukan, mengingat Habitat Lahan Basah telah menghilang, tiga kali Lebih cepat dibanding hutan.

Aspek itu terlihat, seiring dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, kecenderungannya adalah merambah lahan basah dan lahan basah tersebut menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan.

Lahan basah dan manusia merupakan kehidupan yang saling berkaitan. Lahan basah sangat penting bagi kesejahteraan kita. Baik melalui penyediaan air bersih, sebagai sumber makanan atau melindungi kita dari cuaca ekstrem, lahan basah yang sehat sama dengan kesejahteraan kita.

Hari Lahan Basah Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 2 Februari. Peringatan ini meningkatkan kesadaran dan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya lahan basah.

Di seluruh penjuru dunia, umat manusia telah bergantung pada lahan basah selama berabad-abad, dan mendapatkan makanan, inspirasi, dan ketahanan dari lingkungan penting ini.

Meskipun banyak manfaat yang diperoleh manusia dari lahan basah, setiap hari lahan basah dirusak oleh manusia.

Lahan basah dihancurkan oleh praktik pertanian tidak berkelanjutan yang merupakan penyebab utama hilangnya lahan basah melalui drainase dan penimbunan.

BACA JUGA...  Tanggapi Tudingan LPLA, Managemen RSUDZA: Tender Pembangunan Gedung Oncologi Belum Dilakukan

Banyak lahan basah, khususnya di dekat perkotaan, juga telah tercemar oleh aktivitas manusia dan baru-baru ini semakin terdegradasi oleh polusi plastik, yang memperburuk krisis tiga planet yaitu perubahan iklim, hilangnya alam, dan polusi yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan manusia.

Dr Musonda Mumba, Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah dalam laporannya menyebutkan, tren pemukiman manusia saat ini juga menimbulkan ancaman besar terhadap konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di dan sekitar kota-kota berkembang.

Seiring dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, kecenderungannya adalah merambah lahan basah dan lahan basah tersebut menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan.
Oleh karena itu, kita perlu menghentikan perusakan yang sedang berlangsung dan mendorong tindakan untuk melestarikan dan memulihkan ekosistem penting ini.

Lahan basah terdiri dari hutan mangrove, hutan gambut, sungai, rawa, danau, pantai, delta dan laut. Habitat ini menjadi satu kesatuan dari ekosistem lahan basah yang menjadi tumpuan penting segenap makhluk hidup.

Laju degradasi lahan basah di Aceh terjadi lebih cepat dari yang kita perkirakan. Di habitat mangrove dalam kawasan hutan di Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang, luas kawasan hutan terus menyusut akibat pengalihan fungsi dan perambahan.

Hutan gambut di Nagan Raya dan Abdya terus dikeringkan untuk pengembangan HGU kelapa sawit. Kanal-kanal dibuka dalam kawasan hutan yang kaya karbon ini. Rumah Orangutan Sumatera di habitat ini terancam.

BACA JUGA...  Kejari Gayo Lues Diminta Segera Rampungkan Dua Penyidikan Kasus Dugaan Korupsi

Danau Lut Tawar bukan sedang baik-baik saja. Sejumlah masalah menghantui kelestarian Danau Lut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Menyusutnya debit air, menurunnya kualitas air, menghilangnya beberapa spesies ikan endemik, hingga mendangkalnya cekungan danau adalah persoalan utama yang terjadi dan harus diselesaikan.

Satu spesies endemik Danau Lut Tawar yang kondisinya terancam punah adalah ikan depik [Rasbora tawarensis] yang populasinya menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Hal tersebut diduga, terjadinya perubahan signifikan pada ekosistem danau membuat ikan depik tidak mampu lagi beradaptasi.

Sungai-sungai digali dan dicemari
Aktivitas galian dan tambang membentang di sepanjang alur sungai di Pidie, Aceh Barat, dan Nagan Raya.

Dampak negatif yang dirasakan masyarakat adalah kerusakan lahan, pencemaran merkuri, meningkatnya penyakit infeksi dan keracunan merkuri dan timbulnya konflik lingkungan hidup akibat ketidakadilan dalam pengelolaan pertambangan.

Di Beutong Ateuh Banggalang, meski sudah ada putusan Mahkamah Agung yang tidak mengizinkan investasi tambang emas, namun perjuangan warga menolak tambang masih berlanjut. PT. EMM dan PT. BME masih melirik daerah hutan hujan untuk dieksploitasi.

Dari hulu sungai Tamiang, warga Pining, Gayo Lues masih berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat dari pemerintah. Usaha ini sudah dilakukan bertahun-tahun.

Penebangan pohon di bantaran Sungai Pining semakin mengancam sumber kehidupan masyarakat Gayo dan Tamiang.

Berdasarkan fakta dan persoalan di atas, maka kami mendeklarasikan Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh untuk; Menguatkan peran aparat penegakan hukum terhadap kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan.

BACA JUGA...  Kapolda Aceh: Profesi Boleh Beda Tapi Tujuan Kita Sama

Lalu menguatkan peran masyarakat adat sebagai pemilik dan pengelola hutan yang sah di wilayah masing-masing.

Serta meningkatkan status konservasi pada habitat lahan basah di seluruh Aceh.

Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh mengajak Anda bergabung dalam pernyataan sikap bersama bertepatan dengan peringatan Hari Lahan Basah Sedunia pada tanggal 2 Februari 2024.

“Lahan dan Hutan untuk Kesejahteraan Manusia, bukan Pemilik Modal” adalah bentuk sikap dan perjuangan kami mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030.

Karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk kita bertindak sekarang. Pengangku kebijakan perlu diingatkan dalam bentuk gugatan perwakilan (class action) atas sikap dan proses pembiaran terhadap penghilangan hutan dan peningkatan laju deforestasi di dalam kawasan hutan.

Deklarasi dan Pernyataan Sikap tersebut ditandatangani oleh; Aceh Wetland Foundation; Yayasan APEL GREEN Aceh; LSM Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembahTari); Pemuda Pembela Tanah Rakyat (PAPETRA); Generasi Beutoeng Ateuh Banggalang; Gayo Rimba Bersatu; LSM Harimau Pining; LSM Komunitas Aneuk Nanggroe; Yayasan Hutan Hujan Aceh dan Aceh Mangrove Youth. [Syawaluddin].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *