TAPAKTUAN (MA) — Kehadiran pedagang pengumpul dalam mekanisme pasar komoditi minyak Nilam di daerah, merupakan bagian dari upaya mereka untuk membantu petani menjual hasil produksi pertaniannya.
Demikian dikemukakan salah seorang pedagang pengumpul minyak Nilam di wilayah barat-selatan Aceh H. Maswaldi atau lebih dikenal dengan panggilan H. Buyong kepada wartawan mediaaceh.co.id di Tapaktuan, Kamis, (6/2).
H. Maswaldi juga membantah tudingan Wakil Ketua Komisi II DPRK Aceh Selatan Syarkawi, BA yang mengatakan pedagang pengumpul sebagai tengkulak, tetapi adalah pembeli langsung ke petani (pengumpul) untuk dijual kepada agen besar (eksportir) di Medan.
Dia juga meluruskan definisi tengkulak adalah pihak yang melakukan spekulasi harga dengan cara menekan petani untuk menjual murah hasil produksi pertaniannya.
“Kami bukan seperti itu. Ini yang perlu saya luruskan, agar tidak salah pengertian dan tidak alah penafsiran sehingga tidak ada yang dirugikan,” katanya.
Menurutnya, dia bersama pedagang pengumpul lainnya di wilayah barat-selatan Aceh berperan sebagai penghubung petani dengan pedagang besar atau eksportir di Medan.
Sehingga, pemberlakuan harga pasar minyak Nilam di Aceh Selatan dan juga di daerah lain di Aceh yang fluktuatif sangat bergantung kepada harga yang berlaku di tingkat pedagang besar.
“Sehingga kami sebagai pedagang pengumpul di daerah, berpatokan kepada harga di Medan setelah dikeluarkan biaya (cost) dan lain-lain termasuk pajak,” kata H. Maswaldi yang juga mantan anggota DPRK Aceh Selatan itu.
Dalam kaitannya dengan harga yang fluktuatif, pihaknya juga menyesuaikan dengan mekanisme pasar dan mempermudah petani menjual ke pedagang besar.
Menurut H. Buyong, kehadirannya sebagai pedagang penampung minyak Nilam petani, untuk menghubungkan petani dengan pedagang besar di Medan dan sebaliknya bukan sebagai tengkulak, makelar ataupun spekulan.
Dalam kaitan itu, pembelian minyak Nilam secara langsung ke petani di Aceh Selatan hingga ke Aceh Barat dari luar daerah seperti dari Sumatra Barat dan Jakarta juga terjadi dan mereka juga bertindak sebagai pedagang penampung atau pengumpul.
Menurutnya, mekanisme pasar dan perdagangan minyak Nilam harus dijaga bersama-bersama, bukan saja oleh pelaku pasar, melainkan semua pihak termasuk eksekutif (OPD terkait) anggota legislatif dan petani.
Dengan demikian, jika ada pihak yang peduli dengan harga pasar Nilam, H. Buyong memberikan apresiasi tinggi terutama kepada anggota DPRK.
“Kepada anggota DPRK yang telah memberikan perhatian kami menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan apresiasi,” katanya.
Menurutnya, untuk lebih memberdayakan petani Nilam dan meningkatkan perekonomian daerah melalui penerimaan PAD, pihak Pemkab dan DPRK Aceh Selatan memanfaatkan lembaga/badan usaha daerah (BUMD).
“Kami bertekad membantu, bukan untuk mengkhianati apalagi membodohi dan menzalimi petani dengan mempermainkan harga hingga terjadi fluktuasi,” kata anggota DPRK Aceh Selatan periode 2014-2019 itu.
Dia juga menjelaskan tentang mutu dan kualitas minyak Nilam yang mempengaruhi harga pasar, di mana semakin berkualitas minyak semakin mahal harga pasar (diukur dengan alat yang lazim disebut bomen).
Oleh karena itu, dia berharap agar petani menjaga kualitas minyak dengan memperhatikan usia panen minimal tujuh bulan, sebaliknya jangan mudah terpengaruh dengan harga tinggi sehingga dipanen ketika tanaman berumur enam demi mengejar harga sekarang yang relatif mahal, demikian H. Maswaldi.(Maslow Kluet).