JAKARTA | AP- Pemerintah Kota Banda Aceh sibuk teriak-teriak syariat Islam, namun sayang, ternyata Banda Aceh belum termasuk kota berstatus islami.
Maarif Institute melakukan penelitian untuk menilai Indeks Kota Islami (IKI). Penelitian ini dilakukan pada 29 kota di Indonesia dan menghasilkan IKI yang berbeda di tiap kota.
“Kami melakukan penelitian dengan mengambil sampel 29 kota di Indonesia, penelitian ini memakan waktu lama, 1 tahun,” kata Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Imam Mujadid Rais dalam paparannya di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat dikutip dari detik, Selasa 17 Mei 2016.
Ke-29 kota yang dijadikan sampel dinilai melalui variabel aman suatu kota, hal yang diperhatikan diantaranya kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan difabel.
Selanjutnya variabel sejahtera memperhatikan tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan. Dan variabel bahagia dinilai melalui berbagi dan kesetiakawanan dan harmoni dengan alam.
Dari penelitian tersebut, menghasilkan nilai Indeks Kota Islam yang variatif. Berikut nilai IKI ke-29 kota dari peringkat tertinggi. Berikut daftarnya:
1. Yogyakarta – 80.64
2. Bandung – 80.64
3. Denpasar – 80.64
4. Bengkulu – 78.40
5. Pontianak – 78.14
6. Serang – 77.82
7. Metro – 77.50
8. Semarang – 75.58
9. Palembang – 74.36
10. Malang – 73.72
11. Ambon – 73.53
12. Surakarta – 72.66
13. Salatiga – 71.22
14. Mataram – 70.71
15. Manado – 70.10
16. Batam – 69.94
17. Surabaya – 69.74
18. Tasikmalaya – 69.65
19. Banda Aceh – 69.62
20. Jayapura – 68.53
21. Banjarmasin – 66.79
22. Palu – 66.15
23. Pangkalpinang – 65.71
24. Jambi – 63.91
25. Tangerang – 61.99
26. Padang Panjang – 61.67
27. Kupang – 59. 39
28. Padang – 58.37
29. Makassar 51.28
Penelitian ini, lanjut Rais, berangkat dari pemahaman islam sebagai agama rahmat. Dia mengatakan agama rahmat yang dimaksud adalah Islam sebagai agama harus membawa perubahan berupa kebaikan bagi yang lain.
“Berdasarkan itu kami dalam rapat internal dan mengundang expert, lakukan kajian-kajian. Kami definisikan bahwa kota islami adalah kota yang aman, sejahtera, dan bahagia,” ungkap Rais.
Penelitian yang dilakukan mulai 8 Januari – 31 Maret 2016 ini memakai metode obyektif dan subyektif. Untuk menilai variabel aman suatu kota, hal yang diperhatikan diantaranya kebebasan beragama dan keyakinan, perlindungan hukum, kepemimpinan dan pemenuhan hak politik perempuan, hak anak dan difabel.
Penentuan sampel kota dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan penelitian, yaitu kota tersebut merupakan ibukota dari suatu provinsi dan atau merupakan kota utama. Penelitian ini melakukan penarikan sampel dengan menggunakan teori non-probability sampling, yaitu dengan teknik purposive sampling (judgment sampling). Purposive Sampling adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan karakteristik yang telah ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan dengan tujuan atau masalah.
Ada pun untuk metode menggunakan komposit dua tipe data, yaitu:
1. Data obyektif berupa data sekunder (secondary data) terdiri dari beberapa dokumen resmi dan terpublikasi dari beberapa instansi terkait tahun 2014.
2. Data persepsi atau subyektif (primer data) diperoleh melalui wawancara tatap muka (face to face interview) dengan narasumber yang dipilih melalui kriteria ketat sesuai keahlian maupun memiliki informasi luas terkait indikator-indikator yang akan diukur. Wawancara ini menggunakan kuesioner yang disusun secara terstruktur (Structured Interview).
“Sehingga kota dengan tingkat keislaman paling tinggi ada Yogyakarta, Bandung dan Denpasar dengan nilai IKI 80.64 , peringkat selanjutnya Bengkulu, Pontianak dan Serang nilai IKI 78.14, dan paling rendah Kupang, Padang dan Makassar dengan IKI 51.28,” urai Rais.
“Tapi ini bukan berarti kota tersebut rendah keislamannya, ini kan progresif, perkembangannya. Penelitian ini sesuai dengan data pada tahun 2014,” tutupnya. (detik)