“Siklus Pilkada sepertinya hanya seremonial saja, termasuk calon kandidat Gubernur, Bupati dan Walikota berputar-putar dengan para elite dan politisi yang sama, krisis kepemimpinan, malah lebih ironis lagi tak ada ruang dan jangan coba-coba bagi yang berkeinginan mencalonkan diri yang tidak punya modal ekonomi termasuk tidak ada koneksi dengan partai politik,” Tegasnya.
BANDA ACEH | mediaaceh.co.id – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 masih belum bisa melahirkan karakter jiwa seorang pemimpin, tetapi masih berkutat pada keinginan syahwat kewenangan ‘Idiomatik’.
Padahal tujuan Pilkada, seyogianya, mencari sosok pemimpin yang dapat menjadi panutan bagi rakyat Aceh. Brilliant, melahirkan berbagai ide untuk pembangunan Aceh yang bermartabat dan berkelanjutan.
Masih berkonspirasi dengan ‘Ambigu’ penguasaan untuk berkuasa dan memenuhi animo kelompok-kelompok yang diciptakan para penguasa. Pemenang Pilkada 2024 mendatang. Gaya dan perilaku politik bagi para pendukung calon yang dimenangkan.
Menunjukkan, kentalnya mesin politik [Partai dan kelompok tertentu] bermain, tanpa melihat kemampuan manajerial, wawasan, kewibawaan dan panutan serta menguasai pemikiran untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Begitu diungkapkan Usman Lamreung; pemerhati kebijakan pemerintah dan civitas akademisi Abulyatama Aceh pada mediaaceh.co.id. Minggu, 21 April 2024 di Banda Aceh.
Dikatakan bahwa; Pelaksanaan Pilkada 2024 di Aceh sepertinya masih hanya sebatas melahirkan kekuasaan dengan segala nafsu bukan mencari pemimpin dengan visi, misi dan gagasan perubahan.
“Siklus Pilkada sepertinya hanya seremonial saja, termasuk calon kandidat Gubernur, Bupati dan Walikota berputar-putar dengan para elite dan politisi yang sama, krisis kepemimpinan, malah lebih ironis lagi tak ada ruang dan jangan coba-coba bagi yang berkeinginan mencalonkan diri yang tidak punya modal ekonomi termasuk tidak ada koneksi dengan partai politik,” Tegasnya.
Masih Usman; Dibeberkan kalau Modal ekonomi adalah sebuah keniscayaan yang harus disiapkan oleh calon kandidat. Menurutnya jika itu tidak ada jangan harap bisa mencalonkan diri, karena ada syarat yang ditentukan partai politik, termasuk mahar politik. Ini salah satu penyebab para tokoh, akademisi, dan intelektual yang punya gagasan dan visi namun urung maju ketika dihadapkan dengan modal ekonomi.
Ditambah lagi buruknya pelaksanaan pemilu legislatif yang terindikasi politik uang, begitu masif dilakoni. Ibarat ‘dagelan’ Pemilih tidak lagi melihat visi, gagasan dan Sumber Daya Manusia (SDM), tapi yang dipilih berapa amplop yang diterima, biarpun sudah melampaui moralitas termasuk melanggar ketentuan agama.
“Ini pastinya akan berdampak besar dan akan mengubah pola pikir menjadi budaya, bahwa politik uang dalam pelaksanaan pemilu sudah hal biasa yang akhirnya menjadi sebuah kebenaran,” Katanya.
Bila ini terus terjadi termasuk pada Pilkada 2024 terjadi, tentu akan preseden pada kepemimpinan, pembangunan dan kesejahteraan. Hal itu juga akan membuka lebar korupsi semakin masif dan akhirnya menjadi budaya.
Trend buruk ini sudah harus dihentikan. Makanya pilkada Aceh 2024 harus dijadikan momentum untuk mentransformasi kultur politik transaksional menjadi politik gagasan. Karena itulah syarat Aceh bisa maju dan sejahtera
“Aceh butuh politisi pengusung paradigma [politik untuk perubahan] bukan [politik untuk kekuasaan],” pungkas Peneliti di Lembaga Emirates Development Research (EDR). [Syawaluddin].